"Subhaanallah. Lupus?? Sejak kapan?" Tanya Ibnu Abbas dengan suara bergetar.
Setelah Araafi menelponnya untuk bertemu di sebuah Cafe, Ibnu sedang berada di rumah sakit sedang memeriksa berkas ditangannya. Araafi bilang ada sesuatu yang ingin ia katakan. Ibnu langsung menemuinya di Cafe yang disepakati, tapi setelah lama tidak bertemu, yang dikatakan Araafi malah membuatnya sangat syok.
Araafi tersenyum muram. "Kalau gejalanya muncul 10 bulan terakhir ini. Tapi dokter bilang kemungkinan udah lama."
"Kalau gitu, kamu harus segera di rawat, supaya sakit kamu nggak semakin buruk." desak Ibnu.
Araafi menggeleng. "Untuk saat ini saya nggak bisa di rawat. Tapi kamu nggak usah khawatir, Nu. Saya masih kuat kok. Dokter juga udah memberikan obat." ujarnya dengan tenang.
Ibnu hanya terdiam. Araafi masih keras kepala seperti Araafi yang ia kenal dulu. Ia sudah begitu kalut, tapi Araafi masih bisa begitu tenang dengan penyakitnya yang semakin parah.
"Kenapa kamu bisa setenang ini, Rafi?" tanya Ibnu cemas.
Tenang? Tidak. Semenjak prof. Fachry Hamid mendiagnosa bahwa Araafi menderita lupus, Araafi tidak pernah tenang. Ia berharap itu hanya mimpi buruk tapi sayangnya itu semua nyata. Belum terlalu lama ia menerima kabar buruk ibunya meninggal, kini ia juga kembali dihadapkan dengan kenyataan buruk penyakitnya.
Seharian ia hanya merenungi dirinya diruang kerjanya di Restoran. Membohongi Rumaisha karena kesibukan kerja sangat berat untuknya. Ia terpaksa pulang ke rumah saat istrinya sudah tertidur dan pergi sebelum istrinya terbangun. Dan untungnya Rumaisha tidak mencurigainya sama sekali.
"Ibnu, saya percaya, bahwa apa yang menimpa saya, nggak akan mungkin meleset. Dibelakangnya pasti ada hikmah yang Allah sisipkan untuk saya. Setelah saya bermunajat kepada Allah malam itu, saya sadar, mungkin sakit ini adalah cobaan atau ujian untuk saya atas dosa-dosa yang saya lakukan di masa lalu. Kalau saya ingin diampuni, maka saya harus ridha dengan ketentuan yang Allah berikan, bukan?"
Ibnu menatap Araafi takjub. Sesuatu dari diri Araafi yang tak pernah ia ketahui, dan kini Ibnu sadar, bahwa Araafi sudah banyak berubah. Selama ia mengenal Araafi, Ibnu tidak pernah melihat sisi Araafi yang tenang. Araafi yang ia kenal di masa lalu adalah Araafi yang egois, selalu memberontak dan berhati dingin. Dikhianati ayah kandungnya saat ia masih berumur 10 tahun, kurang kasih sayang dan mendapat bullyan dari sekitar membuatnya menjadi laki-laki yang tak berperasaan. Hanya Ibnu yang mau berteman tulus dan selalu menolong Araafi. Meskipun Ibnu berasal dari keluarga yang sederhana.
"Ternyata, kamu udah banyak berubah, Araafi. Aku bangga padamu." Ibnu menatapnya seksama.
Araafi tertawa pelan, "Setelah diingat-ingat, betapa brengseknya saya dulu."
"Hidayah taufiq itu milik Allah, Rafi. Kita nggak akan pernah tau pada siapa hidayah itu Allah berikan. Allah itu Maha Membolak balikkan hati hambanya."
"Kamu benar." ujar Araafi sambil mengangguk. Kemudian pandangannya menatap ke arah jalan yang basah. "Saya juga sangat bersyukur, karena Allah mempertemukan saya dengannya. Kehadirannya telah merubah saya menjadi seperti ini. Dia seumpama hujan yang membasahi bumi yang gersang. Seperti itulah dia."
Ibnu tersenyum. Jelas sekali siapa orang yang sedang dibicarakan Araafi.
"Rumaisha pasti sangat beruntung punya suami seperti kamu." pujinya tulus.
Araafi mengalihkan wajahnya ke arah Ibnu. Ia melipat kedua tangannya diatas meja. "Tapi sampai sekarang, saya merasa bersalah sama kamu, Nu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang (Completed)
General FictionRumaisha Mahira, atau Aisha, harus mengubur impiannya untuk menikah dengan sosok yang sudah sejak lama ia kagumi, Ibnu Abbas, senior di kampusnya. Demi menikah dengan lelaki yang ia ketahui 'berandalan' semasa SMA, Muhammad Araafi Kurniawan Souhail...