Setelah beberapa menit Araafi tak sadarkan diri, ia mulai membuka matanya. Ia mengerjapkan matanya dan meneliti sekitarnya. Rumaisha yang duduk di samping tempat tidurnya merasa lega.
"Kenapa saya ada di kamar?" tanyanya bingung.
Araafi berusaha untuk duduk. Tapi kepalanya masih terasa berat. Rumaisha langsung berdiri untuk membantunya.
"Mas tadi pingsan di pemakaman."
"Pingsan? Di pemakaman siapa?" tanyanya dengan kening berkerut samar.
Rumaisha terkesiap. Tidak mungkin Araafi lupa kalau ibunya sudah meninggal.
"Mas, kita baru aja dari pemakaman mama. Dan mas Rafi pingsan disana."
"Pemakaman mama? Maksud kamu mama saya udah meninggal?" tanyanya. Ia menggeleng seakan tak percaya. "Nggak. Kamu pasti bohong. Kamu memang nggak suka kan mama saya? Kamu mau merebut semua kekayaannya kan?"
Mata Rumaisha melebar karena kaget. "Astaghfirullah. Mas bicara apa? Mama memang udah meninggal, mas."
Araafi terdiam sejenak. Lalu memegang kepalanya kuat-kuat dengan kedua tangannya.
"Nggak mungkin. Ini nggak mungkin. Mama nggak boleh meninggalkan Araafi begitu saja." katanya pada diri sendiri.
"Mas rafi baik-baik aja kan? Kepala mas sakit? Apa yang bisa..."
"Keluar! Keluar kamu dari kamar saya!" bentak Araafi sambil menatapnya tajam.
Rumaisha sontak kaget mendengar Araafi membentaknya. Hatinya seperti dicengkeram dengan kuat. Ia tidak tega melihat kondisi Araafi seperti ini.
"Saya nggak mau melihat perempuan penipu seperti kamu. Keluar kamu sekarang juga!" bentaknya lagi dengan penuh penekanan.
Airmata Rumaisha perlahan mengalir di pipinya. Ia langsung keluar dari kamar itu tanpa mengatakan apa-apa. Rumaisha hanya menangis sejadi-jadinya di luar kamar. Ia bisa mendengar Araafi menjatuhkan barang-barang dari dalam kamar sambil berteriak.
Araafi masih belum bisa menerima kepergian ibunya yang terlalu cepat. Ia tidak tega melihat kondisi suaminya itu. Dalam kondisi Araafi seperti itu ia ingin berada disamping Araafi.
Tapi bagaimana jika seseorang yang ingin kamu lindungi tidak ingin kamu berada disampingnya bahkan tak ingin melihatmu? Sangat sulit sekali.
"Ya Allah, aku memohon kepadamu, berikanlah kesabaran dan ketabahan kepada suamiku. Berikanlah ia kekuatan untuk bisa menerima ketetapan yang telah Engkau gariskan untuknya. Ya Allah, jadikanlah pula aku istri yang mampu meringankan bebannya dan menyenangkan hatinya. Berikanlah aku kesabaran dengan kesabaran yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mengabulkan segala do'a. Aamiin."
®®®®®®®®®®
Adzan subuh berkumandang. Rumaisha sontak terbangun dan tanpa sadar melihat dirinya sudah tertidur di sofa ruang tengah. Mungkin disebabkan kelelahan menangis, ia berbaring di sofa hingga tertidur.
Rumaisha segera mengambil wudhu dan mukenah, lalu ia berjalan ke kamar untuk membangunkan Araafi untuk sholat subuh berjamaah. Rumaisha mengetuk pintu kamar berkali-kali tapi tidak ada jawaban. Kemudian ia membuka pintu kamar dengan perlahan. Ia terkejut ketika melihat kamar dengan barang-barang yang berserakan dimana-mana. Lampu kamar juga tidak dimatikan. Ia mengalihkan pandangannya ke tempat tidur. Araafi masih tidur dengan lelap. Sebagian wajahnya ditutupi selimut.
Rumaisha berjalan ke arah tempat tidur. Ia mengamati Araafi dengan iba. Ia berpikir semua yang telah Araafi alami mulai dari masa kecil hingga sekarang, pasti begitu sangat sulit untuknya. Sehingga Araafi menjadi sosok lelaki yang sentimental. Kini Araafi telah kehilangan satu-satunya sosok yang selama ini selalu menguatkan dan menyemangatinya di saat sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang (Completed)
General FictionRumaisha Mahira, atau Aisha, harus mengubur impiannya untuk menikah dengan sosok yang sudah sejak lama ia kagumi, Ibnu Abbas, senior di kampusnya. Demi menikah dengan lelaki yang ia ketahui 'berandalan' semasa SMA, Muhammad Araafi Kurniawan Souhail...