TUJUH BELAS

117 10 3
                                    

Araafi membiarkan dirinya dituntun Rumaisha ke kamar tidur. Mereka masuk ke kamar dan Araafi duduk di tepi ranjang.

"Mas istirahat di kamar aja ya. Aisha mau siapkan makan siang dulu." ujarnya seraya tersenyum.

Saat Rumaisha hendak membalikkan badan, Araafi menahan pergelangan tangan Rumaisha. Sebelah tangannya lagi menepuk-nepuk tempat disebelahnya.

"Duduk disini."

Rumaisha menurut. Ia duduk di samping Araafi di tepi ranjang dan menatap lelaki itu. "Ada apa, mas?"

"Hari ini kamu nggak perlu masak apapun. Kita makan di luar aja."

"Tapi mas belum terlalu sembuh untuk keluar rumah." kata Rumaisha khawatir.

"Saya udah merasa baikan kok. Lagipula setelah di ingat-ingat, saya pernah berhutang janji kan sama kamu?"

Kening Rumaisha berkerut. Ia tidak ingat pernah membuat janji dengan Araafi. "Janji?"

"Iya. Waktu itu kamu pernah minta saya untuk temani kamu melihat langit senja kan? Nggak ingat?" tanya Araafi sedikit memiringkan kepalanya.

"Oh iya, Aisha ingat sekarang." serunya.

Rumaisha tidak menyangka Araafi bisa mengingat ucapannya waktu itu di restoran. Ia pernah meminta Araafi menemaninya kembali ke restoran itu untuk melihat senja. Sebenarnya saat itu ia tidak terlalu yakin lelaki itu akan mengabulkan permintaannya.

"Terima kasih karena mas udah mengingatnya."

"Tapi dengan satu syarat."

"Jadi bersyarat, ya?" ujarnya seraya menghela nafas. "Baiklah. Apa syaratnya?"

Hening beberapa saat. Rumaisha menatap Araafi bingung. Lelaki itu ingin mengatakan sesuatu, tapi terlihat sedang ragu-ragu.

"Aisha, kamu dan Ibnu sebelumnya pernah punya hubungan apa?"

Rumaisha terkesiap. Ia tidak menyangka Araafi menanyakan hal itu kepadanya. Karena lelaki itu sama sekali tidak bertanya selama mereka dalam perjalanan pulang. Meskipun ia sudah berusaha menutupi kecanggungannya saat bertemu Ibnu. Nyatanya, lelaki itu bisa menyadari sikapnya dan Ibnu. Dan sekarang, ia tidak mungkin bisa mengelaknya lagi. Ia tidak mungkin membohongi Araafi.

"Kenapa mas bertanya soal itu? Aisha rasa itu bukan hal yang penting, Mas."

" Itu penting. Penting untuk saya." Ujar Araafi kali ini menatapnya dengan serius.

"Oke, baiklah."

Rumaisha menghela nafas, lalu mengalihkan pandangannya ke depan menghadap keluar jendela.

"Jadi, sebenarnya hubungan kami memang nggak terlalu dekat. Aisha baru mengenal mas Ibnu itu di organisasi kampus. Setelah tamat kuliah, kami nggak pernah berkomunikasi lagi. Dan tiba-tiba aja, Laila, sahabatnya Aisha sejak kuliah, ingin menjodohkan Aisha dengan sepupunya yang ternyata adalah mas Ibnu."

Rumaisha memutar kepalanya ke Araafi. Ia ingin melihat seperti apa reaksi Araafi. Tapi Araafi masih menatapnya lurus. Tatapan yang tidak bisa dipahaminya. Apakah lelaki itu marah? Atau mungkin kecewa? Ia berharap Araafi tidak menanyakan sesuatu yang membuatnya semakin sulit.

"Terus?"

"Terus?" tanya Rumaisha dengan kening berkerut karena bingung.

"Jadi, kalian sempat ta'aruf?"

Rumaisha tidak langsung menjawab, lalu mengangguk pelan. "Ya. Tapi kami nggak melanjutkannya." ujarnya seraya memaksakan seulas senyum. "Lagipula itu udah jadi masa lalu mas, kita tidak perlu..."

Senja Yang Hilang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang