Hari yang begitu besar dan penuh makna kini telah tiba. Hari dimana Rumaisha dan Araafi akan menjadi pasangan suami istri. Rumaisha sedang melihat bayangannya di depan cermin dengan balutan gaun syar'i berwarna serba putih yang menempel ditubuhnya.
Bu Dewi menatap putrinya dengan penuh haru, bangga namun juga merasakan pergulatan hati yang sedang dialami Rumaisha. Air matanya menetes, ia tahu betul bagaimana putrinya berjuang menerima keputusan ini. Kini putri satu-satunya telah menjadi pengantin. Sementara Rumaisha hanya termenung memandangi dirinya di depan cermin.
"MasyaAllah. Cantik sekali anak ummi." Puji bu Dewi.
Rumaisha tersadar dari lamunannya dan menatap ibunya yang tersenyum lebar kepadanya.
"Ummi." Rumaisha beranjak dari duduknya lalu memeluk bu Dewi.
"Jangan menangis, Nak. Nanti make up kamu bisa luntur." kata bu Dewi mencoba menghibur.
Bu Dewi mengelus pundaknya dengan pelan.
"Kamu harus ikhlas menjalani semua ini ya sayang. Ummi tahu Araafi bukan pilihan hati kamu. Tapi mungkin dia bagian dari takdir kamu. Ingatlah, jika kita berserah pada ketetapan-Nya, Allah selalu punya rencana yang indah untuk kita. Ketika kita ridho dengan takdir dan pilihan dari Allah dan mampu bersyukur, maka kita akan mendapatkan kasih sayang Allah. Karena boleh jadi sesuatu yang kita benci, tetapi itulah yang terbaik di sisi Allah." Ucap bu Dewi menasehati.
Rumaisha meregangkan pelukannya. Ia tersenyum hambar kepada ibunya itu.
"Ummi, terima kasih ya atas nasehat ummi. InsyaAllah Aisha akan berusaha lebih tegar dan ridho dengan ketetapan Allah." Ujar Rumaisha sendu.
Bu Dewi tersenyum dan mengusap pipi Rumaisha dengan lembut. "Allah bersamamu, Nak. Semoga cinta itu hadir di hatimu seiring waktu. Ummi yakin, Araafi juga akan menjadi suami yang baik dan penuh kasih sayang untukmu."
Tiba-tiba adiknya, Ali, masuk ke kamar dengan balutan jas berwarna hitam. Ia menyunggingkan senyum lebar ke arah ibu dan kakaknya.
"Bagaimana Ummi dan kak Aisha? Penampilanku sudah keren, kan? Sudah cocok, kan?" tanyanya sambil berputar ke kiri ke kanan.
"Kamu juga terlihat gagah kalau pakai stelan seperti itu, Nak." Puji bu Dewi pada Ali.
Rumaisha mengacungkan kedua jempolnya sambil tersenyum, "MasyaAllah. Adik kakak memang udah keren kok. Mau pakai apapun tetap gagah."
Senyum Ali semakin mengembang. Lalu ia membalas memuji kakaknya.
"Terima kasih kak Aisha. Kakak juga tidak kalah cantiknya. Semoga kakak selalu bahagia ya kak. Ali akan selalu mendo'akan yang terbaik buat kak Aisha."
Rumaisha merasa hangat mendengar ucapan tulus dari adiknya. Ali, dengan segala kepolosannya, selalu bisa membuatnya tersenyum meski dalam situasi yang berat seperti hari ini.
Rumaisha mengusap kepala Ali dengan sayang. "Aamiin, terima kasih banyak, Ali. Doa dari kamu sangat berarti untuk kakak."
Ali mengangguk semangat. "Ali janji akan selalu ada buat kak Aisha. Kalau kak Aisha butuh apa-apa, Ali pasti bantu!"
"Yasudah, ayo kita ke depan. Mobil yang di kirim Araafi udah datang untuk menjemput kita." ujar bu Dewi.
Rumaisha menarik napas lalu menghembuskannya. Bu Dewi melirik Rumaisha yang menunduk.
"Bismillah ya sayang. Jangan gugup." ucap Bu Dewi dengan penuh ketulusan, sambil menatap Rumaisha dengan lembut.
Rumaisha mengangguk samar dan menggandeng lengan bu Dewi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang (Completed)
General FictionRumaisha Mahira, atau Aisha, harus mengubur impiannya untuk menikah dengan sosok yang sudah sejak lama ia kagumi, Ibnu Abbas, senior di kampusnya. Demi menikah dengan lelaki yang ia ketahui 'berandalan' semasa SMA, Muhammad Araafi Kurniawan Souhail...