HADIAH DARI MAMA

132 13 1
                                    

Rumaisha duduk dalam kegelisahan, menanti kedatangan Laila di taman kota yang sepi. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi setelah Laila tiba. Ia melirik ponselnya untuk memastikan pesan Laila yang mengatakan bahwa dia mungkin akan terlambat karena jalanan macet.

Setelah memandang ke sekeliling taman yang kosong, Rumaisha memutuskan untuk duduk di salah satu bangku panjang. Ia mendongak, menatap langit yang cerah, seolah berharap langit memberinya kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi nanti. Dengan napas panjang yang ia hembuskan, Rumaisha mencoba menenangkan hatinya yang resah.

Kegundahannya semakin dalam, membayangkan bagaimana reaksi Laila ketika mendengar semuanya. Apakah Laila akan kecewa? Marah? Atau mungkin memilih untuk memutuskan persahabatan mereka? Rumaisha tahu ia tidak akan sanggup jika itu benar-benar terjadi. Bagi Rumaisha, Laila sudah lebih dari sekadar sahabat; ia seperti saudara kandung yang selalu ada di sampingnya. Kehilangan Laila adalah hal terakhir yang ingin ia hadapi.

Sejak awal Rumaisha sadar resiko dari keputusan yang dia ambil. Menyembunyikan statusnya kini bukanlah pilihan, terutama ketika ia tahu bahwa keputusannya bukan hanya akan membuat Laila kecewa, tetapi juga Ibnu. Di hatinya, ia paham bahwa keputusan ini adalah sesuatu yang berat bagi mereka semua.

Tapi ia tak pernah tahu takdir akan membawanya kemana, bukan?

Sekalipun ia tetap memilih Ibnu, pilihannya tetap saja akan ada yang tersakiti. Orang yang paling tersakiti itu tentunya yang telah banyak berjuang di dalam hidupnya.
Keputusan yang ia ambil juga tidak akan terjadi kecuali dengan kehendak Allah. Sebagai seorang yang beriman, ia harus menerima takdir yang datang dalam hidupnya. Baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Menikah dengan Araafi itu sudah menjadi takdirnya. Sebab apa yang terjadi di dalam hidupnya telah Allah atur sedemikian rupa. Ia yakin semua yang terjadi pasti ada hikmahnya.

"Rumaisha."

Rumaisha menoleh, dan seketika jantungnya berdegup lebih cepat saat melihat sosok yang memanggilnya. Ia segera berdiri.

"Laila." Ujar Rumaisha pelan, penuh haru.

Tanpa ragu, Rumaisha berjalan mendekat dan memeluk Laila dengan erat. Dalam pelukan itu, semua rasa rindu yang terpendam mencair, dan air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah. Betapa ia merindukan sahabat baiknya, yang kini ada di hadapannya.

“Maaf ya membuat kamu menunggu lama.” ucap Laila, lalu menguraikan pelukannya.

Rumaisha menggeleng, tersenyum di sela-sela air matanya. Ia mengusap air matanya dengan punggung tangannya.

“Nggak kok.”

"Aisha, kamu nangis? Ada apa?" tanya Laila dengan wajah penuh rasa ingin tahu.

Rumaisha cepat-cepat mengusap sisa air mata di pipinya, lalu tersenyum kecil.

"Nggak apa-apa. Cuma rindu aja sama sahabat baikku ini," jawabnya jujur.

Perasaan rindu yang terpendam akhirnya tersampaikan.

Laila tersenyum lembut, merasa lega. "Aku juga, Aisha," balasnya tulus.

Tiba-tiba, perhatian Laila tertuju pada koper kecil di belakang Rumaisha. "Kamu bawa koper? Kamu nggak kabur dari rumah, kan?"

Rumaisha mengikuti arah pandangan Laila dan tertawa kecil. "Oh, bukan kok. Aku nggak kabur dari rumah," ujarnya sambil tersenyum kecut.

"Terus, kenapa kamu bawa koper?" Laila tetap penasaran, tatapannya menuntut jawaban yang jelas.

"Oh, ini..." Rumaisha terdiam sejenak, ragu-ragu menjawab, "Ini punya Mama. Mau dibawa ke rumah sakit."

"Tunggu, siapa yang sakit? Sejak kapan kamu panggil Ummi dengan sebutan Mama?" tanya Laila dengan nada penasaran.

Senja Yang Hilang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang