Hwiyoung POV
Semilir angin berhembus kian beriringan, dedaunan pun menari-nari seakan tengah berbahagia. Beda halnya denganku yang saat ini jauh dari kata bahagia, entah apa kata yang tepat untuk mewakili ku saat ini, Hampa—mungkin.
Seseorang sedang bersamaku, duduk di samping kananku dengan wajah cerah seperti itu, menatap kepada burung-burung gereja yang sedang terbang beriringan di langit lepas. Gadis cantik itu menoleh padaku, tersenyum dengan sangat manisnya.
“Ada apa, Sayang?” tanyanya. Aku menyunggingkan senyumanku, agak berat rasanya, sudah terlalu lama aku sulit sekali untuk tersenyum dengan mudah. Dan lihatlah yang aku lakukan, memasang senyuman terpaksa, gadis itu pun menyadarinya. Ia menyentuh pipiku lembut, mengelusnya pelan disana, “Mau pulang saja?” tawarnya.
Merasa tidak enak juga padanya, aku yang mengajak ia kemari tapi malah aku pula yang membuat suasana diantara kami menjadi sangat suram.
Aku menggeleng pelan, “Tidak perlu, kau kan suka disini. Nikmati saja waktumu, aku temani.”
Ia tersenyum hangat, mengangguk pelan dan mendongak dengan matanya yang tertutup—menikmati hembusan angin.
Aku sedikit merindukannya, bukan gadis ini, namun orang lain.
Brengsek sekali memang aku ini.Sudah lama sekali rasanya aku tak mendengar atau melihat kabar apapun tentangnya, tentang gadis yang dulu sangat menyukaiku dengan segala kesederhanaannya. Ia telah pergi, karena ulahku.
Ku rogoh saku jaketku, mengambil ponsel genggamku.
Sigh
Aku tersenyum kecut saat melihat ponselku. Beberapa minggu lalu aku sempat mencari kontaknya, hanya ingin tahu keadaan terbarunya saat ini. Namun aku tak menemukan keberadaannya, nomornya tidak bisa ku hubungi, semua akun sosial medianya pun aku cari tidak ada. Ku rasa memang ia memblokir semua yang berhubungan denganku.
Kembali aku tersenyum pahit, membaca pesan sosial media yang terakhir ia kirimkan padaku—sebelum menghilang seperti ini.
“Dulu kau bilang padaku bahwa kau mati rasa. Memintaku untuk menunggumu dan memintaku untuk membuatmu suka padaku. Tapi apa sekarang yang aku lihat? Kau punya kekasih? Bisa-bisanya aku menyukaimu sedalam ini.”
Itu balasannya pada foto yang aku unggah di sosial media. Foto saat aku sedang bersama kekasihku ini.
Sungguh, aku seakan menyesal dengan segalanya.
Keputusan terbodohku adalah saat aku memilih gadis di sampingku ini daripadanya. Hanya karena kebutuhanku akan kegiatan ranjang—aku meninggalkannya, ia yang dulu pernah menolak untuk ku tiduri.
Seharusnya aku senang, kini aku mempunyai kekasih yang memberikan segalanya untukku, kekasih yang bahkan mau untuk ku tiduri. Tapi entah mengapa saat ini aku tidak bahagia. Aku merindukan sosoknya yang manis, sosoknya yang polos dan menggemaskan. Aku merindukan itu, merindukan segala hal tentangnya yang dulu pernah bersamaku dan dengan sabar menungguku yang bejat ini.
.
..
.Pukul tujuh malam. Aku melangkahkan kaki ku dengan ragu-ragu menuju rumah di hadapanku.
Aku sedang berada di depan rumahnya, rumah Arin, gadis itu—yang pernah aku lukai perasaannya.
Kriet
Belum sempat aku mengetuk, seseorang sudah lebih dulu membuka pintu dan sosoknya muncul dari dalam sana.
“Oh? Hwiyoung? Lama tak kemari, mencari Arin?” itu tuan Jeon, ayah Arin.
Aku tersenyum canggung, menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal sama sekali, “Ya, om. Arin ada di rumah?”
“Ada, masuk saja dulu. Om panggilkan”
Ayah Arin sudah berlalu ke dalam ketika aku berjalan masuk dan mendudukkan diriku di ruang tamu.
Aku gugup, sungguh. Apa semua akan baik-baik saja?
“Ada apa kemari?”
Aku menoleh, menyunggingkan senyum ku dengan mudahnya. Aku melihatnya, Arin, gadis itu ada di hadapanku sekarang.
“Sudah putus dengan kekasihmu, kak? Mau menjadikanku pelampiasan?”
Sigh
Dadaku nyeri, pertanyaan itu menohokku.
“Maafkan aku, untuk segalanya, maafkan aku..” ucapku lirih, ku tatap matanya yang saat ini tengah menatapku tajam.
Arin terlihat sedikit berbeda saat terakhir kali aku melihatnya. Tubuhnya menjadi lebih kurus, pipi chubby yang dulu sering aku cubit sedikit terkikis dan tirus. Apa aku terlalu menyakitinya? Jika benar, rasanya aku tak pantas jika memintanya memaafkanku dengan mudah.
“Pulanglah, tak ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” ketusnya.
Ia berbeda, kemana Arinku yang manis dan lembut?
“Arin, aku merindukanmu. Sungguh aku meminta maaf padamu atas segalanya.” Aku turun dari sofa, bersimpuh di bawahnya. Menunduk dalam atas penyesalanku telah menyakitinya. Sungguh aku menyesal, aku ingin ia kembali menyukaiku seperti dulu, aku ingin bersama Arin yang terus memberikan senyuman hangatnya padaku, seperti dulu.
Tiba-tiba bahuku disentuh olehnya, ia mencengkram bahuku dan menyuruhku berdiri. Apa ia memaafkanku?
“Kak, aku memang menyukaimu, sangat. Tapi yang pernah kau lakukan padaku itu, aku tidak bisa memaafkannya. Jadi pulanglah.” ucapnya, ia mendorongku untuk keluar dari rumahnya. Kemudian yang aku dengar selanjutnya hanya suara pintu yang ditutup dengan kasar di belakangku.
Apakah berakhir seperti ini? Antara aku dengannya?
Air mataku bergulir tanpa aku sadari, aku menangis. Menangisi segalanya.
FIN.
Halo halo, lama tidak update kkkk~
Sekalinya update ngebikin Hwi jadi sadboy kayak gini ><290721
KAMU SEDANG MEMBACA
SF9 Fanfiction
FanfictionBeberapa fanfiction dengan Cast member SF9 (Sensational Feeling Nine) Dari yang tertua hingga yang termuda. Tapi nggak urut, yaa.. Aku bikinnya Random^^ First publish -- Desember 2016 Oleh : Widia Lorensa