00 - Awal

1.8K 116 8
                                    


"Kalian dapat bertarung dan saling melukai, tetapi tidak boleh membunuh satu sama lain," - aturan tetap Venturion.

Dunia ini terasa mati di tengah sesaknya populasi manusia. Gadis itu ditinggalkan sendirian di dunia yang kejam. Entah itu rasa tamak, kesombongan, maupun keserakahan. Tetap saja bagi gadis berambut brunette itu, mereka hanyalah sekumpulan hal serupa yang membuat hidupnya semakin malang.

Suara gemericik air sudah memenuhi rongga pendengarannya sejak beberapa menit yang lalu. Rasanya baru sebentar dia memejamkan mata, tetapi kenapa ia merasakan kasur empuknya tiba-tiba saja menghilang? Sedikit demi sedikit, indra perabanya mulai tergelitik oleh kasarnya rerumputan.

Suara tawa riang gadis kecil yang terdengar tak asing, membuat gadis yang semula terpejam itu membuka kedua mata hazelnya. Beberapa kali dia mengerjap karena sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam pupil matanya.

Akan tetapi, ketika dia sepenuhnya membuka mata. Ternyata bukan realita yang ia lihat sekarang, melainkan kilasan memori yang justru membuat matanya kembali bergetar.

"Ibu! Lihat ini!" seru seorang gadis kecil .

"Apa yang kau temukan, Amy?" tanya perempuan paruh baya yang tengah tersenyum lembut kepada anak kecil itu.

"Ini ... apa? Apa ini punya Ayah?" tanya gadis kecil itu yang tengah memegang sebuah busur panah yang kemudian dibalas anggukkan oleh ibunya.

"Aku juga ingin belajar memanah seperti Ayah!" seru gadis kecil berusia 7 tahun itu.

"Apa Amy mau mencobanya?" tanya ibunya, Lily Silks sembari berdiri tepat di belakang tubuh putrinya.

"Mau!" serunya terlonjak senang.

"Kalau begitu, ikuti arahan Ibu ya, Amaryllis," ucap ibunya lembut. "Lihat pohon itu? Itu sasaranmu."

"Iya! Aku melihatnya!"

"Pertama-tama, kau harus berdiri dengan benar. Tarik garis lurus dengan pohon itu lalu berdiri di sana."

"Sudah!" seru Amaryllis yang sudah berdiri di posisi yang konsisten.

"Setelah itu pegang busurnya."

"Seperti ini?" tunjuk Amaryllis sembari menggenggam busurnya dengan seluruh jarinya.

Lily tersenyum lembut. Dia memegang tangan Amaryllis untuk memperbaiki caranya memegang busur. "Hanya gunakan ibu jari dan telunjukmu saja."

"Setelah memegangnya dengan tepat, sekarang letakkan anak panahnya pada tempatnya," ujar ibunya.

Amaryllis memeriksa nock-nya, sebelum dia mengambil sebuah anak panah untuk dipasangkan ke sandaran yang ada pada senarnya.

"Bagus sekali, Amy!"

Amaryllis tersenyum lebar dengan mata yang berbinar.

"Sekarang letakkan jari telunjukmu di bagian atasnya, sementara jari tengah dan jari manis berada di bawahnya," ujar Lily dengan membenarkan tangan kanan Amaryllis yang memegangi anak panahnya. "Peganganmu harus longgar agar nanti lebih mudah saat memanah."

"Baik! Lalu apa lagi, Ibu?" tanyanya.

"Rilekskan bahumu lalu angkat busurnya."

"Seperti ini?" Amaryllis membulatkan matanya ketika menyadari bahwa dia sudah belajar setengah cara memanah.

"Pertahankan posisimu. Jangan menggerakkan kepala, jaga agar busurnya tetap lurus, dan badanmu tetap tegap. Jika sudah, perlahan-lahan tarik senarnya," ujar Lily sembari membantu putrinya agar mulai menarik tali busur tersebut.

"Tarik hingga jari-jarimu menyentuh anchor point dekat wajahmu, Amy."

"Seperti ini, Ibu?"

Lily tersenyum lebar. "Sekarang fokuskan mata panahnya ke sasaran itu."

"Tetap jaga otot tanganmu dan fokuskan pandangan. Tarik napasmu dalam, hembuskan pelan. Kemudian kendurkan perlahan-lahan ... lalu ... lepaskan!"

Satu tembakan terlepas dari busurnya. Amaryllis yang baru saja menembakkan panah pertamanya pun membulatkan matanya.

"Wah!" serunya berdecak kagum saat melihat panahnya menancap tepat sasaran.

"Ibu! Aku berhasil!"

Lily langsung memeluk tubuh Amaryllis erat. "Amy hebat!"

Wanita itu memandang wajah Amaryllis dengan penuh kasih sayang dan mengelus puncak kepalanya. "Sekarang kita pulang, ya?"

Amaryllis kecil mengangguk lalu menggandeng tangan ibunya sebelum pergi dari sana.

Gadis yang melihat mereka dari kejauhan itu tersentak. "Tidak! Ibu! Jangan pergi!" teriaknya saat kedua orang yang ia lihat itu mulai hilang dari pandangannya.

Kakinya mencoba berlari dengan menerobos ilalang untuk mengejar mereka. Tangannya yang terulur itu berusaha untuk menggapai punggung mereka. Namun, sia-sia saja karena jarak yang tercipta di antara mereka terlalu jauh. Sangat jauh, bahkan waktu yang berlalu sekali pun tidak dapat melampauinya.

Bulir-bulir air mata itu mulai membasahi kedua pipinya. "Aku mohon, jangan tinggalkan aku," isaknya lemah yang kini jatuh bersimpuh.

"Ibu ...."

✬✬✬

✬Holla! Ini adalah cerita pertamaku bergenre fiksi dengan sedikit aksi yang aku tulis tahun ini karena terjebak pandemi hehe! Semoga kalian suka dan sampai jumpa lagi di bagian berikutnya ❤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✬Holla! Ini adalah cerita pertamaku bergenre fiksi dengan sedikit aksi yang aku tulis tahun ini karena terjebak pandemi hehe! Semoga kalian suka dan sampai jumpa lagi di bagian berikutnya

-written from 2021.

VENTURIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang