01 - Dia

1K 96 3
                                    

[PERINGATAN!] Cerita ini hanyalah fiksi belaka, semua karakter, alur, serta beberapa latar dalam cerita adalah milik penulis yang tidak terlepas dari berbagai inspirasi.

Selamat Membaca

Selamat Membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✬✬✬

"Ibu ...."

Mimpi itu datang menghampiri tidur lelapnya, lagi.
.

.

.

"Apa kau tidak mau bangun, huh?! Matahari sudah setinggi ini, tapi kau belum juga membuka matamu, Amaryllis?!" cecar suara melengking yang menembus ke gendang telinganya.

"Kau seharusnya segera membantu pamanmu! Dasar anak tak tahu diri! Apa kau tidak mendengarkanku? Kenapa tidak menjawab!" desis wanita itu lagi ketika gadis itu belum kunjung bangun dari kasurnya.

Gadis berambut brunette itu membuka matanya perlahan seraya beranjak dari tempat tidur. Kini dia harus kembali ke realita yang tak semanis mimpi. "Aku akan segera keluar," jawabnya singkat dengan suara lirih.

"Hah! Seharusnya kau sudah pergi dari tadi. Kau kira tinggal di sini gratis ...."

Dia mendengus kecil seraya pergi meninggalkan suara bibinya yang menggelegar. Selain diam dan melakukan apa yang wanita itu perintahkan, apalagi yang bisa ia lakukan?

Langkah gontai menuntun gadis itu menuju ke kamar mandi di belakang rumahnya. Tangannya meraih segayung air untuk membasuh muka dan mengguyur badannya. Dia menggayung air yang tak terlalu jernih itu sedikit demi sedikit.

Musim kemarau berkepanjangan ini memaksa mereka untuk menghemat air semaksimal mungkin karena kekeringan tengah melanda beberapa wilayah sektor. Jika sampai kehabisan stok air, mau tidak mau mereka harus pergi sejauh 5 km untuk mendapatkan pasokan air tambahan. Transportasi yang dibutuhkan untuk ke sana pun juga akan lebih mahal, mengingat mereka harus membayar dua kali lipat sesuai dengan berat galon yang mereka bawa.

Setelah selesai, jemarinya dengan lembut memegangi pangkal rambutnya dan menguncirnya dengan ikat rambut berwarna merah tua. Selanjutnya, dia pun meraih sebuah jubah panjang berwarna moka yang sudah lusuh, tas punggung kecil, dan sepasang sepatu bot dari atas rak. Setelah merapikan sedikit pakaiannya yang terlipat, gadis itu lantas mengambil busur dan beberapa anak panah dari atas meja.

"Baiklah! Semangat hari baru, Amy!" serunya menyemangati dirinya sebelum memulai hari dengan menyusuri jalan setapak di dekat hutan.

Amaryllis Heath. Gadis bermata hazel itu menapaki lantai hutan yang licin. Melangkah semakin dalam di antara rimbunnya pepohonan. Sambil sesekali melirik ke kanan dan kiri untuk mencari target buruan, dia mulai bergumam ria.

Suara kepakan sayap di antara bunyi patahan daun kering tertangkap oleh telinganya. Amaryllis sontak sedikit membungkukkan badannya. Kepalanya mendongak sembari bersembunyi di sebelah batang pohon yang cukup besar.

VENTURIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang