35 - Satu tembakan

190 36 0
                                    

[PERINGATAN!] Cerita ini hanyalah fiksi belaka, semua karakter, alur, serta beberapa latar dalam cerita adalah milik penulis yang tidak terlepas dari berbagai inspirasi.

Selamat Membaca!

Selamat Membaca!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✬✬✬

Hari kedua dimulai dengan cuaca yang lebih terik dari kemarin. Amaryllis terkesiap tatkala mendengar alunan lagu kebangsaan mereka yang berkumandang dengan keras. Dia bahkan masih heran dari mana suara itu berasal. Semua tempat seperti memiliki pengeras suara yang tak kasat mata.

Amaryllis sudah mendengar pengumuman kalau Dylan Cole dari Phoenix dan Adam Stone dari Black Rose sudah tereliminasi di hari pertama. Itu berarti tinggal 8 peserta lagi di dalam arena Flair. Ternyata baru 2 orang saja yang tersingkir dari sana.

"Itu berarti Thomas, Asa, Levita, dan Riana masih berkeliaran di arena ini ya," gumam Amaryllis yang meningkatkan kewaspadaan. Mengantisipasi jikalau ia bertemu dengan salah satunya.

"Apa Gavin akan menepati kesepakatannya denganku?" gumamnya lagi yang melangkah melompati bebatuan.

Amaryllis sedikit menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak boleh bergantung padanya."

Meskipun mereka membuat kesepakatan bersama, tetapi mereka sedang memperebutkan gelar Flair. Dia tidak bisa menjamin kalau Gavin akan menepati perkataannya. Daripada harus mengkhawatirkan sesuatu yang tidak pasti, Amaryllis memilih menyiapkan dirinya untuk kemungkinan terburuk.

Ketika dia masih melintasi tanah berbatu itu. Tiba-tiba saja beberapa batu yang ia pijaki mulai bergeser sendiri. Amaryllis tersentak keras saat suara retakan keras muncul dari bawah kakinya.

"Apa ini!" pekiknya seraya berlari menjauh dari sana.

Retakan tanah itu semakin luas. Amaryllis merasakan goncangan yang cukup besar. Pepohonan yang menjulang tinggi itu kini mulai berjatuhan.

"Jangan-jangan arenanya berputar!" sergah Amaryllis sembari menghindari tumbukkan pohon dan gerakan tanah yang naik turun.

Perputaran arena seperti di Acumen memang sudah Amaryllis antisipasi sebelumnya. Namun, dia tidak menduga kalau pergeseran arenanya akan sekeras ini. Rasanya sekarang Amaryllis seperti sedang berlari di atas komidi putar yang penuh dengan bebatuan terjal, tanah yang amblas, dan kayu yang berhamburan.

Jika di Plethora Hall mereka dapat memprediksi kapan arenanya akan berputar maka hal itu tidak berlaku di Flair. Amaryllis mencoba menentukan arah melalui kompas hologram. Dia masih berlari menghindari permukaan tanah yang bergerak cepat. Namun, saat dia menerjang debu yang berhamburan, tiba-tiba saja sebuah batang pohon yang terlontar ke udara itu berhasil menghantam tubuhnya.

"Ah!" pekiknya saat terpental ke tanah dengan keras. Dia merasakan tulangnya yang berderak ketika bangkit dari sana.

Pergerakan tanah seolah tidak mau berhenti. Amaryllis yakin kalau dia sudah berpindah hingga berkilo-kilo meter jauhnya dari tempat terakhirnya tadi. Sangat sulit untuk memastikan lokasinya di kondisi yang kacau tersebut.

VENTURIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang