Taksi yang ditumpangi Airin dan Raka berhenti di pemakaman. Raka bingung sebenarnya Airin ada urusan apa kesini? Raka ingin bertanya, namun Airin tersenyum padanya dan menyuruh Raka untuk mengikuti dirinya. Mereka tiba di sebuah makam. Raka bingung, makam siapakah ini? Setaunya orangtua Airin masih ada. Entahlah, Raka tidak ingin berekspektasi.
Airin berjongkok sambil mengusap pelan batu nisan itu.
“Hai! Apa kabar? Kamu pasti lagi bahagia ya disana? Aku juga pengen bahagia, tapi aku nggak bisa lupain kamu, gimana dong?” tanya Airin pada batu nisan itu.
Airin menahan mati-matian air matanya agar tidak terjatuh. Dia tidak mau dibilang cengeng. Dia harus kuat, dia harus tegar. Raka yang menyaksikan itu bingung sekaligus terharu. Raka ikut berjongkok di samping Airin.
“Aku sayang kamu Fan, aku minta maaf udah bikin kamu kayak gini, kamu maafin aku kan?” tanyanya lagi. Dan sekali lagi tidak akan pernah ada jawaban darinya.
Airin menoleh ke samping, hampir melupakan Raka yang ikut bersamanya.
“Oh ya Fan aku lupa, kenalin ini Raka, dia murid pindahan dan sekarang jadi temen aku, temen berantem” Airin terkekeh. Bukannya marah, Raka justru tersenyum.
Cuaca tiba-tiba mendung, seperti hati Airin yang mendung karena mengingat kejadian dulu, lagi “Ya udah Fan, aku pulang dulu ya, nanti kapan-kapan aku kesini lagi ngajak Kei dan Aurel. Aku nggak akan pernah lupain kamu, jadi kamu juga jangan lupain aku ya” ucap Airin lalu meletakkan sebuket bunga yang sebelumnya ia beli.
Airin berdiri diikuti Raka lalu mereka berjalan keluar dari pemakaman. Karena mereka tidak bawa motor ataupun mobil, akhirnya mereka memilih jalan kaki. Karena di daerah pemekaman jarang ada kendaraan yang lewat.
Hujan tiba-tiba turun dengan deras membuat keduanya langsung berlari mencari tempat berteduh. Mereka berhenti di sebuah pos kecil. Airin terus menggosokkan kedua tangannya lalu mengusapkan kewajahnya. Tiba-tiba saja ada sebuah hoddi yang bertengger di bahunya, Airin menggerakkan kepalanya ke samping dan mendapati Raka sedang tersenyum hangat padanya.
“Emang lo nggak kedinginan?” tanya Airin
“Nggak. Gue udah kebal sama cuaca dingin” jawab Raka berusaha meyakinkan Airin.
Airin hanya ber-oh ria lalu keheningan pun melanda keduanya.
“Rin, tadi itu siapa lo?”
Airin diam, hatinya begejolak saat mendapatkan pertanyaan itu, dadanya juga berdebar dan ada sedikit rasa sesak yang membuat Airin tidak bisa berkata-kata.
“Kalo lo nggak mau jawab juga nggak papa”
“Dia... Fandi, pacar gue” tepat saat kalimat itu dia ucapkan, Air matanya menetes. Airin berusaha untuk menahan isakannya agar tidak keluar.
Raka yang melihat itu merasa iba lalu langsung mendekap Airin ke dalam pelukannya, menyalurkan kehangatan bagi gadis itu. Airin sempat terkejut, namun dia tidak menolak. Airin membalas pelukan Raka dan menangis sejadi-jadinya di dada bidang pria itu.
Raka merasakan sesak di hatinya saat isakan lolos dari bibir Airin. Raka mengeratkan pelukannya dan mengusap lembut punggung Airin, berusaha menenangkan gadis itu. Sampai akhirnya Airin tertidur di pelukan Raka karena kelelahan menangis. Raka merebahkan tubuh Airin dengan kepala Airin berada di paha Raka.
Sudah hampir petang namun hujan belum juga reda. Raka mengambil ponselnya lalu menelpon supir pribadinya agar segera menjemput dirinya dan Airin di pos dekat pemakaman.
Tak lama supir pribadi Raka sampai. Raka langsung menggendong Airin masuk ke mobil lalu mengantarkannya pulang. Setelah mengantar Airin, Raka langsung pulang karena dirasa badannya sudah menggigil semua.
“Aden nggak papa?” tanya pak Udin-supir pribadi Raka.
“Saya nggak papa pak, cepetan nyetirnya, saya pengen tidur” bohong Raka.
Kedua tangan Raka memeluk tubuhnya sendiri. Tubuhnya bergetar hebat. Pak Udin yang melihatnya merasa kasihan pada tuannya, lalu Pak Udin melajukan mobilnya dengan cepat.
Sampai di rumah, Raka langsung turun dengan wajah pucat. Jalannya pun sudah sempoyongan. Rere yang kebetulan ada di ruang tamu terkejut melihat keadaan anaknya.
“Ya ampun Raka kamu kenapa kok sampai menggigil hebat gini? Kamu pasti kehujanan ya? Kamu tuh, udah tahu nggak tahan dingin malah keluar kelayapan, mana diluar lagi hujan deres” omel Rere.
“Udah Mi, anaknya lagi kedinginan kayak gitu malah diomelin” bela Irwan-papi Raka.
“Mi..... di....ngin” ucap Raka menggigil.
“Ya allah iya Mami lupa. Ayo Mami anter ke kamar” Raka mengangguk lemah.
Sampai di kamar, Raka langsung menjatuhkan diri di kasur dan menarik selimut sampai dada. Rere menambahkan dua selimut lagi agar Raka tidak kedinginan.
“Tadi kamu mimisan?” tanya Rere khawatir.
Raka menggeleng lemah. Rere menghela napas lega karena biasanya Raka jika sudah kedinginan dan menggigil hebat akan mimisan. Pernah dulu saat dirinya tinggal di Bandung, ia pernah dihukum oleh Papi nya tidur di luar karena Raka ikut tawuran waktu SMP. Padahal saat itu cuacanya sedang hujan. Raka terpaksa tidur di luar padahal suhunya sangat dingin. Di dalam kamar saja sudah dingin apalagi diluar. Esok harinya Rere menemukan Raka yang sudah menggigil hebat lalu segera dibawa ke kamarnya. Raka mimisan dan terus saja mengeluarkan darah selama 15 menit. Rere menangis melihat anaknya yang tidak berdaya.
Irwan memanggil Doktor lalu setelah diperiksa keadaan Raka mulai membaik. Sejak saat itu Irwan tidak pernah lagi menghukum Raka. Ia hanya menasehati Raka jika Raka berbuat salah.
"Kamu makan dulu ya" Raka mengangguk.
Baru dua suap, Raka sudah tidak mau makan lagi. Rere menghela napas lalu memberikan obat kepada Raka.
“Sekarang kamu istirahat ya” ucap Rere lembut lalu mengecup kening Raka.
Raka mengangguk dan memejamkan matanya untuk menjelajahi alam mimpi.
***
Airin berangkat sekolah di antar oleh Fikri karena hari ini Raka tidak menjemputnya. Entah kemana Raka, Airin sudah coba menghubunginya tapi tetap tidak ada kabar. Airin sampai di kelas dan mengedarkan pandangan mencari seseorang. Namun orang itu tidak ada.
“Woi Rin, ngapain lo disitu? Masuk elah, nggak bayar juga” ucap Keisya.
Airin menghampiri kedua sahabatnya.
“Lo cari Raka? Dia nggak masuk, sakit. Tuh, ada suratnya” tunjuk Aurel pada meja guru menggunakan dagunya.
“Raka sakit?” tanya Airin. Keduanya mengangguk.
“Kenapa? Lo khawatir?” tanya Keisya.
“Nggak” ucap Airin lalu duduk di bangkunya.
Bel sudah berbunyi menandakan jam pelajarn pertama akan dimulai. Selama pelajaran Airin tak bisa fokus, ia terus saja memikirkan Raka. Tak bisa dipungkiri bahwa Airin sedikit khawatir dengan keadaan Raka. Apa Raka sakit gara-gara dirinya? Airin harus menemuinya, hatinya tidak tenang jika belum melihat Raka.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
AIRIN
RandomAirin, seorang badgirl yang punya masa lalu menyedihkan. Karena kejadian di masa lalu dia menutup pintu hatinya serapat mungkin. Dia tidak mudah untuk jatuh cinta. Namun sikap bar-bar nya itu menutupi seluruh kesedihan yang Airin rasakan, dan tidak...