4

174K 17.6K 862
                                    

Kamis (15.41), 10 Oktober 2019

--------------------------

"Menikahlah denganku. Akan kubuat kamu menjadi wanita paling beruntung di dunia."

Nala tertegun dengan mata berkaca-kaca. Kedua tangan menutup mulutnya yang terbuka penuh rasa tak percaya. Aska melamarnya. Tepat di ulang tahun Nala. Dengan cincin putih bertatahkan berlian, lelaki itu berlutut di depan Nala.

Nala masih juga tak bersuara. Air matanya mengalir yang kemudian berubah menjadi isak penuh haru.

Nala?

Panggilan lembut itu menggema dalam benak Nala seolah kejadian penuh kebahagiaan itu baru terjadi kemarin, bukannya dua tahun lalu. Saat ini, Nala juga menangis sama seperti hari itu. Penyebabnya juga orang yang sama. Tapi dengan alasan yang jauh berbeda.

Nala terus menangis. Suaranya yang entah bagaimana bisa menghilang membuatnya bebas meraung sepuas hati tanpa takut ada orang yang tahu.

Namun tangis memilukan tak juga meredakan perih di dadanya akibat perlakuan Aska. Lalu tiba-tiba pandangan Nala terpaku pada pisau dapur yang bisa dilihatnya dari kursi di ruang tamu tempatnya berada. Rumah Nala kecil. Hanya seperti satu ruangan dengan sekat-sekat untuk membagi kamar tidur, ruang tamu, dan dapur. Lalu ada kamar mandi kecil di dekat dapur.

Nala berdiri dengan tekad di hati. Langkah kakinya membawanya semakin dekat ke tempat pisau di dapur. Jemarinya mantap menggenggam gagang pisau. Tangannya yang bebas terulur, siap disayat besi tajam yang ia pegang.

Namun di detik terakhir, tangis Nala kembali pecah. Rasa takut menguasainya, membuat pisau yang dia pegang terlepas lalu jatuh menghantam lantai, menciptakan bunyi keras yang dalam beberapa detik menghalau keheningan.

Nala memegang dadanya lalu dengan penuh kekesalan memukul-mukul dadanya sendiri dengan kepalan tangan. Dia benci karena dirinya terlalu lemah. Dia benci sikap pengecutnya. Mengapa dirinya tak pernah bisa berubah? Jika seperti ini terus, dia akan terus diinjak-injak. Terutama oleh Aska yang tampaknya menikmati rasa sakitnya.

***

Dentam musik di salah satu night club terkenal ibukota memenuhi seluruh ruangan. Kelap-kelip lampu disko menambah heboh goyangan di lantai dansa, seolah merasuki tiap aliran darah para manusia di sana, membuat mereka bergerak mengikuti irama.

Salah satunya adalah Aska. Yang bergoyang seru dengan senyum merekah dan satu tangan mencengkeram botol minuman. Dia tampak menikmati suasana sekelilingnya. Tapi siapa yang menyangka, lelaki itu hanya berusaha membohongi diri sendiri, karena pikirannya tengah kacau dikuasai sosok mungil dengan tangis tanpa suaranya.

"ARRGGHH! Brengsek!"

Akhirnya emosi Aska meluap juga. Membuat orang-orang yang menari di sekelilingnya berhenti lalu menatap Aska dengan pandangan aneh.

Aska tak memedulikan pandangan mereka. Dengan kekesalan yang kian memuncak, dia membelah keramaian lantai dansa menuju kursi tempatnya duduk bersama Raffi.

Salah satu alis Raffi terangkat melihat kilat amarah dalam mata Aska. Namun dia tidak bertanya, hanya menyesap rokoknya tak peduli. Dia sudah berteman dengan Aska sangat lama. Tahu betul sifat Aska, baik dan buruknya.

Sejak Aska menghubunginya mengajak bertemu di club ini, Raffi sudah tahu ada yang mengganggu pikiran Aska. Namun sahabatnya itu tak mengatakan apapun. Hanya terus berbicara tentang pekerjaan.

Raffi membiarkannya. Dan tak berusaha mengorek informasi apapun. Sama seperti dirinya yang tak tahan memendam masalahnya sendiri tanpa menceritakannya pada Aska, sahabatnya itu pada akhirnya akan menyerah dan memberitahu Raffi apa yang mengganggu pikirannya.

Silent Wounds (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang