27

130K 13.2K 541
                                    

Kamis (17.40), 26 Maret 2020

----------------------------

Aska merasa sangat kacau saat mengemudikan mobilnya tak tentu arah. Dia sama sekali tak punya gambaran kira-kira Nala akan pergi ke mana. Tapi mengingat sifat wanita itu yang cenderung lebih memilih hidup mengenaskan daripada minta bantuan, mungkin saat ini Nala tak punya tujuan. Dan pemikiran itu yang membuat Aska semakin khawatir serta kalut.

Entah sudah berapa jam Aska mengemudikan mobilnya. Akhirnya dia berhenti di tepi jalan, mencoba berpikir seandainya dirinya Nala, ke mana dia akan pergi.

Jelas bukan ke rumah orang tuanya. Apa Nala punya teman yang cukup dekat? Yang melintas dalam benak Aska hanya teman-teman Nala di restoran tempatnya dulu bekerja. Dan lagi-lagi jika mengingat sifat Nala, Aska ragu dia akan meminta tolong pada mereka.

Di tengah kalutnya pikiran Aska, ponselnya tiba-tiba berdering. Aska langsung menerimanya tanpa memeriksa dulu siapa si penelepon. Dan berita yang disampaikan si penelepon segera mengalihkan perhatian Aska dari Nala. Buru-buru dia menyalakan mesin mobil kembali lalu melaju menuju rumah sakit.

***

Aska mondar-mandir di depan ruangan rumah sakit tempat para dokter tengah berjuang menyelamatkan Mamanya. Yang menghubunginya tadi adalah pelayan di rumah. Aska bahkan tidak mendengarkan dengan jelas apa yang diminum Mamanya. Yang dia dengar hanya Mamanya saat ini kritis di rumah sakit.

Raffi yang dihubungi Aska dalam perjalanan kini berdiri bungkam di dekatnya. Lelaki itu menyandarkan punggung di dinding dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Mana Nala?" akhirnya Raffi bertanya setelah menit-menit berlalu dalam suasana tegang.

Aska menyusurkan jemarinya di antara helai rambut dengan sikap frustasi yang tidak ditutup-tutupi. Lalu dia menghempaskan diri duduk di kursi tunggu dekat Raffi.

"Entah gimana Nala sama Mama tahu tentang Handoyo. Tentang hubungan Nala dan bajingan itu. Yang itu artinya Nala juga tahu hubungan gue dan Handoyo. Mungkin dia udah mulai nebak alasan sikap buruk gue sama dia di masa lalu."

Nada suara Aska semakin menghilang hingga terdengar seperti bisikan. Raffi duduk di sebelah lelaki itu lalu bertanya, "Jadi sekarang dia pergi?"

Aska mengangguk. "Gue tadi berusaha nyari dia waktu dapat telepon dari rumah. Sebelum pergi Mama juga bilang gak mau ngakui gue sebagai anak lagi kalau gue masih nekat nyari Nala."

"Dan lo tetep milih pergi? Padahal seingat gue lo gak pernah bisa ngebantah kemauan Tante Greya."

Aska memejamkan mata sejenak sebelum membukanya lagi. Sorotnya tampak begitu terluka. "Yang terbersit dalam pikiran gue cuma... Mama masih punya banyak hal. Ada gue, temen-temen, saudara, juga gak kekurangan uang. Tapi Nala, dia gak punya apapun. Bahkan sekedar rumah tempat dia berteduh."

"Dari awal lo memang gak bisa milih mereka berdua. Kita sama-sama tahu sebesar apa kebencian Tante Greya sama Handoyo dan segala yang berhubungan sama dia. Itu sebabnya juga gue sangat nentang keinginan lo untuk miliki Nala. Pada akhirnya lo harus tetap milih kayak sekarang."

Aska tersenyum penuh ironi. "Seharusnya gue gak pernah ketemu Nala."

"Yang bener seharusnya lo gak pernah balas dendam. Ngasih maaf emang gak gampang. Itu sebabnya gue gak pernah nyaranin lo maafin Handoyo. Tapi seharusnya lo lepasin dia. Lupain. Dan melangkah maju. Itu lebih baik."

"Lo gak ngerti gimana—"

Raffi mengangkat tangannya meminta Aska diam. "Iya gue gak ngerti. Dan gue gak peduli. Yang gue peduliin cuma keadaan lo sekarang. Kalau udah kayak gini, apa lo masih mau mikir bahwa keputusan lo yang paling bener?"

Silent Wounds (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang