17

144K 15.3K 497
                                    

Sabtu (21.11), 21 Desember 2019

Akhirnya laptop beres juga. Jadi bisa lanjut nulis ^_^

-------------------------

Hampir satu jam kemudian Aska terbangun lalu menanyakan sudah berapa lama dirinya tertidur. Sebagai jawaban, Nala memalingkan wajah ke arah lain, sadar betul sempat melihat mata Aska yang melebar geram.

Selanjutnya yang Aska lakukan setengah menyentak Nala keluar mobil lalu mendorongnya kembali duduk ke kursi depan. Benar-benar mendorong sebelum dia sendiri masuk dari sisi lain lalu melajukan mobil dengan kecepatan yang membuat Nala menahan napas ngeri sepanjang jalan.

Tiba kembali di apartemen, keduanya terus saling membisu hingga akhirnya mereka menghilang di balik kamar masing-masing.

Esok paginya saat keluar kamar, Nala menyadari kondisi apartemen sepi seperti kemarin begitu Aska pergi. Tanpa bisa dicegah, pandangannya menoleh menatap kamar Aska yang tertutup. Tampak hening. Membuatnya yakin memang tak ada kehidupan di sana.

Merasa sedikit bebas, Nala memutuskan berlama-lama mandi berendam sambil menimbang-nimbang apa dirinya akan mengurung diri di rumah seharian atau tidak. Akhirnya opsi pertama yang menang begitu ia teringat kejadian kemarin dan sama sekali tak berminat merasakan sakit hati yang lainnya atas tuduhan Aska ataupun komplotannya.

Usai mandi, Nala memutuskan memasak dengan bahan makanan yang tersedia di dapur. Tak lupa ia perhatikan tiap label makanan untuk memastikan tidak kadaluarsa dan cukup terkejut karena semua bahan makanan itu baru.

Sepertinya belum sepuluh menit berlalu saat Nala mendengar suara benda jatuh dari kamar Aska. Tanpa pikir panjang, dia berlari cepat ke sana lalu membuka pintunya dengan tergesa.

Pemandangan di dalam membuat Nala tertegun di ambang pintu. Di kaki ranjang, tepatnya di dekat meja nakas, jam beker tergeletak di lantai dengan beberapa bagian pecah. Sementara itu di atas ranjang, Aska bergerak-gerak gelisah dengan wajah pucat. Sesekali tampak dia mengerang. Napasnya terlihat berat dengan mata tertutup rapat.

Hanya dua detik keraguan meliputi Nala. Setelahnya dia melesat cepat ke arah ranjang lalu secara insting menyentuhkan punggung tangannya ke kening Aska yang berkeringat sekaligus terasa panas membakar.

Perasaan panik mulai melandanya. Namun itu tak berlangsung lama. Setelahnya dengan cekatan Nala menyiapkan air dalam baskom, handuk kecil, dan sapu tangan yang ia letakkan di atas meja nakas.

Dengan hati-hati Nala mencelupkan sapu tangan ke dalam air, memerasnya sedikit lalu meletakkannya di kening Aska. Sejenak pandangan Nala turun ke dada Aska yang juga terasa jelas menguarkan panas. Ada sorot ragu dalam matanya untuk melanjutkan apa yang dia niatkan.

"Engghh..."

Erangan Aska menyadarkan Nala bahwa dia tak punya waktu untuk ragu. Mengabaikan masa lalu dan bahkan kemarahan yang bergolak di dadanya untuk lelaki itu, jemari Nala bergerak membuka kancing kemeja piama Aska satu per satu namun tak melepasnya, hanya sekedar cukup mendinginkan permukaan kulitnya yang panas membara.

Sama seperti sapu tangan tadi, Nala juga mencelupkan handuk ke dalam air di baskom. Memerasnya pelan lalu mengusapkan di permukaan kulit Aska. Lelaki itu kembali mengerang, membuat Nala refleks menatap wajahnya dan seketika, jantung Nala berpacu tak terkendali.

DEG.

Aska menatapnya. Dengan pandangan lembut namun sekaligus—entahlah. Seperti menyimpan luka? Tatapan itu mengundang perasaan deja vu. Hingga membuat Nala terpaku dan tak sanggup berpaling, membiarkan tatapan mereka beradu dengan tubuhnya yang agak membungkuk di atas tubuh Aska.

Silent Wounds (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang