22

132K 14.2K 450
                                    

Rabu (21.06), 19 Februari 2020

Aku udah nyaris narik cerita ini. Berniat berhenti lanjutin cerita ini. Tapi berkat mereka yang selalu dukung dan bahkan support aku sampai bela-belain tanya ke WA kenapa gak aku lanjut lagi, aku bangkit lagi. Meski tertatih, aku nulis lagi sampai akhirnya sekarang bisa post lagi.

Terima kasih dari hatiku yang paling dalam buat kalian ♥_♥ iya, kalian.

#peluk & cium...

-----------------------

Malam itu Nala sama sekali tak bisa memejamkan mata. Kantuk tak sedikitpun datang menghampiri, membuat Nala memiliki waktu sepanjang malam memperhatikan wajah Aska yang tampak damai dibuai mimpi.

Hingga pagi menjelang, Nala tak juga berhasil tidur. Yang dilakukannya kemudian adalah meringkuk di sofa yang mengarah balkon ruang tengah dengan pikiran melayang, saling berbaur antara masa kini dan masa lalu.

Aku tahu dari tatapanmu. Kau masih meragukanku. Tapi kau bisa memercayaiku untuk yang satu ini. Akan kubuat kau tersenyum lagi. Aku janji.

Kalimat itu terus terngiang dalam benak Nala. Di satu sisi, rasanya dia ingin menyerah dan membiarkan Aska mencoba mewujudkan janjinya. Tapi di sisi lain, keraguan masih menguasai hatinya. Bahkan dia lebih merasa takut daripada percaya mengingat janji Aska dulu berakhir luka yang menyisakan trauma.

Tidak! Dia tidak bisa percaya.

Nala semakin merapatkan selimut yang melilit tubuhnya. Sebuah keputusan sudah terbentuk dalam hatinya. Dia tidak bisa. Tidak mau percaya lagi pada Aska. Bahkan meski mencoba, Nala tahu Aska tidak akan pernah mendapatkan kepercayaannya seperti dulu. Kepercayaan yang sudah dihancurkan lelaki itu hingga tak akan pernah utuh kembali.

Pergi, Nala! Pergi!

Nala tersentak akibat seruan yang seolah muncul dari alam bawah sadarnya. Bagai alarm tanda bahaya, kata-kata itu terus bergema. Menyadarkan Nala bahwa keputusannya untuk bertahan di sisi Aska demi membalas dendam adalah keputusan yang salah.

Kau tidak akan pernah bisa melakukannya. Kau tidak akan pernah bisa menyakiti Aska dengan hati lemahmu. Ujungnya kau hanya akan luluh kembali. Lalu Aska akan kembali menghancurkanmu, hingga kau bahkan tidak akan sanggup berdiri lagi.

Air mata Nala bergulir menyadari kebenaran kata hatinya. Dirinya terlalu lemah. Bahkan meski balas dendam yang dia maksud hanya diam mematung di sisi Aska. Dirinya tidak akan pernah bisa. Yang ada dia hanya akan semakin tenggelam dalam cintanya pada Aska. Dan semakin remuk saat Aska kembali menyakitinya.

Pergi, Nala! Pergi!

Nala menghela napas seraya menyeka air mata di pipinya dengan punggung tangan. Hati kecilnya benar. Dia harus pergi. Segera. Menjauh dari Aska. Menjauh dari sumber rasa sakitnya. Menyelamatkan hatinya yang sudah remuk.

Sekarang!

Dengan gerakan tiba-tiba, Nala melepas selimut yang membelit tubuhnya lalu menurunkan kaki menjejak lantai yang dingin. Tapi baru saja dia berdiri, seketika tubuhnya membeku menyadari Aska tengah berjalan ke arahnya. Rambutnya acak-acakan dan sesekali dia menggosok mata dengan punggung tangan, menandakan dia baru saja terbangun dan memutuskan keluar kamar.

"Di sini kau rupanya," gumam Aska dengan nada setengah mengantuk. "Aku terbangun dan tidak melihatmu."

Begitu tiba di sofa, Aska menjatuhkan diri duduk di tempat tadi Nala duduk sambil meregangkan tubuh. Lalu dia menepuk sebelahnya sebagai isyarat agar Nala juga duduk.

Nala masih membeku. Sejenak dia melirik bergantian pada Aska dan tempat di sebelahnya. Dorongan dalam hatinya memaksa Nala segera berlari menjauh. Tapi beruntung akal sehatnya masih bekerja. Perlahan Nala duduk di sebelah Aska dan membiarkan lelaki itu menarik tubuhnya ke dalam dekapan.

Silent Wounds (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang