Minggu (21.52), 29 Desember 2019
----------------------------
Seolah ada alarm dalam kepalanya, Nala sudah melihat dan mengenali dua orang itu bahkan sebelum mereka menginjakkan kaki di luar restoran yang hendak dirinya dan Aska tuju. Pintu kaca restoran sangat jelas menunjukkan wajah mereka yang hendak keluar.
Seperti gerak refleks, Nala langsung berbalik dan bergegas pergi. Tampaknya Aska tak menyadari kepergiannya namun Nala sama sekali tak peduli. Dalam pikirannya dia hanya harus bergegas. Sejauh mungkin dari mereka.
Napas Nala tersengal saat ia akhirnya memelankan langkah lalu berhenti. Dia tak sadar bahwa tadi setengah berlari dalam usahanya menjauh dari sumber rasa sakit. Lalu tanpa bisa dicegah, matanya berkaca-kaca. Pedih di hatinya terasa menusuk dan seolah mengiris jantungnya.
Kamu sama sekali tidak berguna. Beban! Kenapa tidak mati saja sekalian?
Dasar anak tidak berguna! Daripada cuma hidup menyusahkan dan membawa sial seperti ini, lebih baik kamu mati saja!
Setetes air mata Nala menitik teringat ucapan menyakitkan Maura, Mama kandungnya. Dia selalu seperti itu. Saat Nala melakukan sesuatu yang menurutnya tak berguna dan hanya menyusahkan, dia selalu mengeluarkan kata-kata kasar yang amat menyakitkan. Seolah berita kematian Nala adalah sesuatu yang amat menggembirakan untuk Maura. Harapannya sejak Nala dilahirkan.
Nala menelan isakannya lalu menghela napas sejenak untuk menenangkan diri. Lalu dia buru-buru mengusap wajahnya untuk menghapus jejak air mata saat mendengar pertanyaan Boy.
"Anda baik-baik saja?"
Nala bersyukur Boy tak berusaha melihat wajahnya. Hanya bertanya dari belakang Nala. Buru-buru dia mengangguk sebagai tanggapan.
"Apa sebaiknya kita cari restoran lain? Anda harus makan siang."
Nala terdiam. Makan sama sekali tidak masuk dalam pikirannya sekarang, Dia hanya ingin bergelung sendirian di suatu tempat dan menangisi nasib buruknya.
Padahal dirinya sudah berusaha melupakan semua. Berusaha melepas segala kesedihannya. Melupakan Aska... melupakan Mama kandungnya. Tapi mereka tetap hadir dan mengorek luka lama, bahkan seolah berusaha menciptakan luka baru seperti yang Aska lakukan.
"Atau sebaiknya kita kembali ke apartemen saja dan saya akan memesankan makan siang untuk Anda?" usul Boy lagi karena sebelumnya tak mendapat tanggapan.
Tak ingin membuat Boy bertanya-tanya lebih lama, Nala buru-buru mengangguk dan membiarkan Boy mencarikan taksi yang membawa mereka kembali ke apartemen.
***
Hujan tampak mengguyur di luar sana. Tidak begitu deras. Tapi berhasil membuat suasana hati Nala semakin muram. Padahal dia menyukai hujan. Tapi hujan kali ini seolah mengejek dirinya. Menggambarkan betapa muram dan pedih hatinya sekarang.
Nala berdiri di kamar yang ditempatinya sambil mengamati rintik hujan dari jendela kaca. Tetesnya seiring tetes air mata Nala saat ia membiarkan kenangan masa lalu menguasai hati dan pikirannya.
Ada lelaki baru lagi yang suka mengunjungi Mamanya. Nala yang saat itu masih berusia delapan tahun tak pernah suka dengan lelaki-lelaki yang kerap kali datang silih berganti. Seolah jiwa kanak-kanaknya sudah meneriakkan peringatan bahwa lelaki-lelaki itu bukan orang baik meski sering membelikannya makanan atau mainan tiap mereka datang.
Tapi kali ini berbeda. Tak sekedar mengunjungi Mamanya di rumah, lelaki ini sering mengajak mereka jalan-jalan keluar. Tapi sikapnya tak pernah pura-pura baik pada Nala seperti teman lelaki Mamanya yang lain. Jelas lelaki ini menjaga jarak dari Nala, bahkan sering menatap padanya yang Nala artikan pandangan tak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Wounds (TAMAT)
Любовные романы[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Trauma mendalam membuat Nala Olivia harus kehilangan kemampuan berbicaranya. Dia yang semula hidup normal berubah menjadi wanita bisu akibat luka hati yang terus dipendamnya sendiri. Suatu hari, Aska Faresta-lelaki...