7

164K 18.5K 798
                                    

Jumat (15.54), 18 Oktober 2019

------------------------

"Lo liat tadi dia kan?" tanya Aska pada Raffi dengan amarah yang memuncak. "Jalang itu memang tukang cari perhatian! Ngapain dia ambil dari tempat sampah kayak gitu? Sok melas!"

Raffi diam memperhatikan Aska yang mondar-mandir gusar di ruang tamu rumahnya. "Dia cuma kelaparan, Ka. Emang lo gak liat? Sampai kapan lo mau nyiksa dia terus? Apa sampai dia mati?"

Mendadak Aska menunjuk Raffi. "Nah, liat! Lo udah terpengaruh kelicikannya. Emang gitu tujuannya. Cari perhatian, bikin orang-orang iba. Lo kan juga tau kalo orang tuanya kaya?" Aska berdecak malas. "Sampe pura-pura bisu segala."

Raffi menghela napas. Dia merogoh kantong celananya lalu meletakkan sobekan kertas di meja ruang tamu Aska. "Kenapa gak lo cari tau sendiri alasan Nala hidup kayak gitu padahal ortunya kaya?" Lalu Raffi menegakkan tubuh seraya angkat tangan. Dia berkata dengan nada tegas, "Gue gak mau ikut campur lagi urusan lo sama Nala. Silakan selesaikan sendiri!" Usai mengatakan itu Raffi berbalik dan langsung pergi tanpa permisi pada sang pemilik rumah.

Aska mengerutkan kening memperhatikan punggung Raffi yang menjauh. Tak biasanya Raffi lepas tangan dari apapun yang ingin dilakukan Aska. Dan kalau Aska tidak salah menebak, tampaknya Raffi menahan kesal padanya.

"Kenapa dia?" gumam Aska pada dirinya sendiri. Lalu matanya beralih pada sobekan kertas di atas meja. Ada sederet alamat di sana. Dan bisa Aska tebak itu adalah alamat baru Nala.

***

Nala duduk dengan lutut ditekuk di atas hamparan selimut yang dibawanya dari rumah kontrakan. Kedua lengannya memeluk kaki sementara dagunya ia tumpangkan di atas lutut.

Jelas kondisi Nala lebih menyedihkan dari sebelumnya. Dia tinggal di tempat kotor dan lembab serta bau. Padahal Nala sudah berusaha membersihkan tempat ini. Tapi tetap saja. Aroma tak sedap masih terus mengganggu indera penciumannya.

Namun bukan hal itu yang mengganggu pikiran Nala sekarang. Rasanya kondisi ini masih lebih baik dari gangguan Aska Faresta. Lelaki itu tampaknya tak akan berhenti terus mengusiknya. Entah sampai kapan.

Sebulir bening air mata Nala jatuh membasahi lututnya saat teringat amarah dalam mata Aska tadi. Nala sungguh tak mengerti cara berpikir lelaki itu. Kenapa rasanya semua yang dilakukan Nala tampak salah dalam penglihatan Aska.

Kau sedang apa? Kau pikir aku tidak lihat dari mana kau memungut sampah itu!

Andai tak mengenal Aska, pasti Nala akan berpikir lelaki itu mengkhawatirkannya. Tapi dia sudah cukup mengenal lelaki itu. Ucapan Aska seolah mempertegas betapa menyedihkannya Nala sekarang. Meskipun itu benar, Nala merasa sangat tersinggung karena lelaki itulah penyebab dirinya berada dalam kondisi ini.

Jemari Nala yang saling mengait memeluk kaki terbuka. Tangan kanannya terentang lalu mengepal. Dengan tangan itu tadi dia menampar Aska. Sebuah kekerasan fisik yang pertama kali dilakukannya. Membuat Nala sendiri kaget. Tak menyangka seorang pengecut seperti dirinya punya keberanian untuk menampar seseorang, apalagi orang yang pernah merenggut hatinya dan tak pernah dikembalikan lagi.

Air mata Nala kian membanjir dan dia membiarkannya mengalir begitu saja. Ini sangat menyakitkan. Karena orang yang terus melukai dan menginjak-injak dirinya adalah orang yang dia cintai.

Ya! Tak peduli seberapa keras Nala menyangkal, dia tetap tak mengingkari faktanya. Dia masih mencintai Aska. Bahkan setelah semua perlakuan buruk lelaki itu, cinta di hatinya tak kunjung pudar. Ini yang membuat rasa sakitnya menjadi berkali-kali lipat.

Bukankah dirinya sangat menyedihkan? Atau bodoh lebih tepatnya. Seolah ia senang disakiti. Seharusnya ia membenci Aska hingga ke tulang. Tapi mengapa dia masih terus mencintainya dalam diam?

Silent Wounds (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang