15

149K 15.4K 417
                                    

Sabtu (22.37), 07 Desember 2019

Huaahhh... akhirnya bisa up!!

Mesti berantem sama lappy mau update ini dari jam delapan tadi -_-

---------------------

Aska menyeruak kerumunan di depan gedung apartemennya dengan panik. Mengabaikan orang-orang di sekeliling dan teriakan Raffi yang mengejar di belakangnya, Aska terus berlari menuju lift dan beruntung mendapat lift yang kosong.

Detik-detik menunggu lift itu membawanya ke lantai delapan terasa sangat menyiksa. Napas Aska terengah. Jemarinya mengetuk dinding lift dengan tak sabar.

Begitu lift berhenti di lantai delapan, Aska melesat keluar bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Sama seperti di depan gedung, di lantai ini juga banyak orang termasuk beberapa petugas polisi dengan seragamnya yang tampak mencolok. Aska mengabaikan mereka semua dan fokus menuju kamarnya.

Klek.

"Nala!"

Aska berseru memanggil begitu ia berada di dalam apartemen. Langkahnya langsung menyusuri tiap ruangan. Mencari dengan tak sabar dan sesekali mengumpat hingga akhirnya dia berhenti di tengah ruangan yang ia tunjuk sebagai kamar Nala.

Sama seperti ruangan lain, kamar itupun sepi. Bahkan masih sama rapi seperti sebelum ia datang. Seolah Nala memang tak menyentuh apapun di sana sebelum memutuskan untuk—

Drrrtt.

Getar ponsel di saku Aska membuat perasaan paniknya kian meningkat. Otak Aska sudah menampilkan gambaran-gambaran mengerikan sosok Nala terbaring di tanah dengan tubuh remuk dan berlumur darah setelah jatuh dari ketinggian. Tapi dia segera menepis semua itu dan fokus menerima panggilan telepon yang berasal dari Raffi.

"Gimana?" Itu pertanyaan yang langsung Raffi lontarkan.

"Gak ada." Hanya itu yang bisa Aska ucapkan.

Sesak yang aneh menghimpit dada Aska lebih kuat dari yang pernah dia rasakan. Jantungnya serasa diremas hingga refleks jemarinya terangkat menyentuh dada.

"Gue tanya ama orang-orang di sini detail cewek yang bunuh diri. Tapi gak ada yang bisa kasih keterangan jelas."

Aska membisu selama beberapa detik, berusaha menenangkan diri. Namun otaknya masih saja buntu. Hanya dipenuhi bayangan Nala berlumuran darah. "Bisa lo cari tau rumah sakit tempat cewek itu dibawa?"

"Bisa. Lo buruan turun deh."

"Oke."

Begitu sambungan telepon terputus, Aska bergegas turun kembali ke lantai dasar. Tempat itu masih sama ramainya seperti tadi dengan beberapa personil polisi yang lalu lalang.

Tiba di depan gedung apartemen, Raffi sudah menunggunya di samping mobil. Tanpa tanya, Aska masuk ke sisi samping pengemudi. Raut wajahnya tampak gusar dengan rahang yang menegang, tanda dia tengah menahan kekhawatiran yang amat besar.

Tidak ada percakapan di antara mereka saat mobil melaju membelah jalanan menuju rumah sakit. Tiba di tempat tujuan, keduanya turun dari mobil lalu bergegas menuju meja resepsionis. Pasien yang sesuai deskripsi mereka sudah dibawa ke IGD hingga tak ada pilihan bagi mereka untuk menunggu.

"Apa kita balik aja dulu?" tanya Raffi pelan. "Toh itu belum tentu Nala."

Aska menyandarkan punggung dengan pandangan mengarah ke ruang IGD beberapa meter di depan mereka. "Gue gak akan pergi sebelum yakin itu memang bukan Nala."

Raffi terdiam, menatap tajam sang sahabat. "Kayaknya gak lama lagi lo harus jilat ludah lo sendiri."

Aska menatap Raffi dengan kening berkerut. "Maksud lo apa?"

Silent Wounds (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang