8

165K 17.1K 691
                                    

Selasa (18.19), 22 Oktober 2019

-------------------------

Nala mengguncang-guncang tubuh Aska dengan panik. Air matanya semakin deras. Lalu susah payah dia menyingkir dari himpitan tubuh Aska.

Nala semakin terisak begitu menyadari ada darah yang mengalir di sudut bibir Aska. Dia menatap sekeliling yang gelap lalu berusaha berteriak meminta tolong. Tapi tak ada suara yang terdengar. Apalagi hujan dan guntur masih meramaikan langit malam. Membuat suara gubuk roboh teredam. Ditambah lahan ini memang agak jauh dari pemukiman warga.

Sadar tak mungkin bisa mengangkat tubuh Aska sendirian dan dirinya tak punya banyak waktu, Nala berdiri lalu berlari meninggalkan Aska hendak mencari seseorang yang bisa menolongnya. Dia beruntung hanya menempuh sekitar 200 meter, ada warung dengan banyak lelaki dewasa di sana yang tampak tengah mengobrol seru.

Tanpa ragu Nala menghampiri mereka lalu membuat gerakan memohon sambil menunjuk-nunjuk ke arah gubuk. Bibirnya berkali-kali menjelaskan apa yang dialaminya. Tapi dia ragu orang-orang itu akan mengerti apa yang dia katakan tanpa suara.

"Ada apa, Neng?"

"Coba bicara lebih jelas."

Akhirnya Nala memilih jalan singkat. Dia menarik salah satu tangan seorang Bapak di dekatnya dan langsung berlari menembus hujan. Diabaikannya seruan bingung si Bapak. Tapi beruntung lelaki itu tak lantas memukulnya agar menjauh karena berpikir dirinya gila. Bapak itu menurut membiarkan dirinya ditarik Nala. Bahkan lelaki-lelaki lain turut membuntuti dengan bingung.

Mobil Aska masih terparkir di jalan menuju lahan kosong bekas kandang sapi. Begitu tiba di sana, Nala langsung melepas tangan si Bapak lalu kembali menunjuk-nunjuk sambil berlari menghampiri Aska.

Seketika orang-orang itu mengerti begitu melihat ada orang yang tergeletak di dekat reruntuhan. Mereka langsung menghampiri sambil saling berseru memberi arahan.

"Cek itu mobil ada kontaknya gak?"

"Ada yang bisa nyetir?"

"Dia masih napas?"

Seruan-seruan itu saling bersahutan. Nala hanya diam menangis di dekat Aska, menunggu para lelaki itu mengangkat Aska. Setelah memastikan mobil bisa dinyalakan, mereka bersama-sama mengangkat Aska ke mobil. Nala turut masuk dan duduk di kursi belakang sementara Aska dibaringkan di sampingnya dengan kepala di atas pangkuannya.

Dua orang di antara para lelaki tadi yang menemani mereka. Yang satu mengemudi dan satunya lagi duduk di samping sisi pengemudi. Lalu mobil melaju menembus rintik hujan diiringi tangis tanpa suara Nala.

***

Raffi merebahkan diri di sofa depan tv. Namun pikirannya sama sekali tak tertuju ke layar di hadapannya. Memorinya terus memutar ulang bayangan Nala yang memakan nasi sisa dari tempat sampah. Dan lagi-lagi, dada Raffi terasa seperti diremas kuat.

"Aska brengsek!"

Kembali Raffi mengumpati sang sahabat entah untuk keberapa kalinya. Bagaimana tidak? Aska lah yang membuat Raffi harus merasakan rasa pedih ini. Dia penyebab Nala begitu menderita. Entah sampai kapan Aska akan seperti ini. Apa hatinya sudah begitu hitam diselimuti dendam hingga setitik pun rasa iba untuk Nala tidak dia rasakan?

Cukup lama Raffi berbaring nyalang di atas sofa. Lalu dia mendesah seraya meraih ponsel yang tergeletak di meja depannya.

Matanya tak bisa terpejam. Otaknya terus bekerja menolak istirahat. Akhirnya dia putuskan mengecek pesan masuk. Tidak mungkin selarut ini Aska kembali mengganggu, kan?

Silent Wounds (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang