23

128K 13.3K 477
                                    

Sabtu (22.08), 22 Februari 2019

--------------------------

Dua bulan lagi.

Begitu Greya memutuskan kapan akan melangsungkan pernikahan Aska dan Nala. Waktu yang menurut Nala sangat singkat. Waktu yang Nala takut tidak cukup lama bagi Raffi menyiapkan segala sesuatu agar dirinya bisa pergi.

Nala semakin cemas dari hari ke hari. Apalagi saat melihat Greya begitu antusias menyiapkan segala keperluan pesta pernikahan. Rasa bersalah terasa menikam jantungnya. Kira-kira seperti apa nanti reaksi Greya dan Aska begitu menyadari dirinya telah pergi? Lalu apa jadinya semua persiapan pesta yang disiapkan Greya dengan sepenuh hati ini?

Nala memeluk dirinya sendiri untuk meredam rasa bersalah yang serasa menggerogoti hatinya. Dia yang tengah berdiri di depan jendela kamarnya di lantai dua menatap keluar dengan kegelisahan yang kian mencengkeram. Baru seminggu berlalu sejak Raffi menawarkan solusi menggiurkan itu. Tapi Nala semakin tak tenang. Ditambah tak ada kabar apapun dari Raffi. Membuat Nala sempat berpikir Raffi tak benar-benar berniat membantunya. Mungkin dia hanya tengah mengiming-imingi Nala janji manis untuk melambungkan hatinya sebelum dia hancurkan di kemudian hari.

Seperti yang dilakukan Aska.

Nala memejamkan mata rapat. Mati-matian menahan diri untuk tidak mengumpati nasibnya. Dia tak pernah mengizinkan dirinya sendiri mengutuki jalan hidupnya yang buruk. Karena pada akhirnya dia juga akan mengutuki sang pemberi kehidupan.

Tidak, itu tidak boleh. Karena Tuhan tidak pernah dengan sengaja menyakiti hambanya. Hidup adalah tentang pilihan. Jika hidupnya sengsara, berarti pilihannya yang salah. Dan Nala akui, pilihannya untuk kembali pada keluarganya dua tahun yang lalu yang telah membuat hidupnya demikian menderita.

Andai waktu itu Nala memilih melupakan Ibu dan keluarga baru ibunya, dia pasti masih bisa bicara dan tetap hidup nyaman dengan gaji besar. Andai waktu itu dia tak pernah pulang, dia juga tak akan pernah bertemu Aska dan mungkin kini sudah menikah dengan lelaki lain yang tulus mencintainya.

Nala mendesah lalu menghalau segala pengandaian dari kepalanya. Waktu tidak akan bisa diulang. Jadi yang bisa dia lakukan hanya menjadikan masa lalu sebagai pelajaran dan mencari jalan yang lebih baik untuk melangkah menghadapi masa depan.

Cobaan?

Ah, Nala tak pernah menganggap apapun yang dia alami sebagai cobaan. Itu konyol sekali. Memangnya dirinya sehebat para nabi hingga pantas mendapat cobaan? Bukankah itu terdengar sangat sombong? Seolah dirinya manusia yang sangat baik hingga pantas berpikir bahwa yang dia alami adalah cobaan.

Yang benar, semua hal buruk yang dirinya alami adalah balasan dari perbuatannya di masa lalu. Mungkin ada hal buruk yang dirinya lakukan tanpa sadar. Hingga Tuhan berpikir ia pantas menerima nasib buruknya sekarang. Dengan pikiran seperti itu, Nala bisa terus merasa rendah diri dan akan semakin memperbaiki diri. Tentu saja juga membuatnya lebih berhati-hati memilih jalan hidupnya.

Seperti sekarang...

Meski Aska menawarkan kesempatan yang terlihat sangat indah dan aman baginya, tapi Nala tak bisa langsung menerima. Kejadian di masa lalu membuatnya berpikir panjang. Ditambah Nala sudah tak benar-benar percaya pada Aska untuk membiarkan lelaki itu menjaga puing-puing hatinya.

"Kau sedang lihat apa, hm?"

Nala tersentak merasakan seseorang mendadak memeluknya dari belakang. Dan begitu dia menyadari siapa yang memeluknya, rasa takut itu mendadak muncul lagi membuat Nala ingin menyentak lepas dirinya dari Aska lalu melarikan diri.

Padahal Nala pikir dirinya sudah tak lagi dikuasai rasa takut tiap berada sangat dekat dengan Aska. Kontak fisik yang sering dilakukan Aska serta tidur di samping lelaki itu tiap malam seharusnya sudah membunuh trauma akan kekerasan fisik yang dilakukan Aska di masa lalu. Tapi tampaknya trauma Nala hanya bersembunyi. Dan akan menampakkan diri secara tiba-tiba saat dirinya dalam kondisi tidak siap seperti sekarang.

Silent Wounds (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang