Empat Puluh

7.9K 269 4
                                    

Rea terduduk lemas di samping makam Mamanya yang baru saja selesai di kuburkan. Di sampingnya ada Reyhan yang sejak tadi berusaha menenangkan Rea yang tak kunjung berhenti menangis.

Di seberang Rea dan Reyhan ada Edward yang menggunakan kacamata hitam. Menatap nisan mendiang istrinya yang selama ini ia cintai. Tak menyangka, Sarah akan pergi meninggalkan dirinya terlebih dahulu.

Edward mendongak menatap kedua anaknya dengan Reyhan yang merangkul Rea menenangkan.

"Rey, ayo pulang. Sudah makin sore," ucap lembut Edward. Reyhan menatap Rea sekilas yang masih melamun menatap tanah basah di hadapannya.

"Rea, ayo pulang, dek." Rea menggeleng pelan menjawab ajakan Reyhan.

Orang-orang yang menemani mereka memakamkan Sarah sudah pulang sejak selesai membacakan doa.
Hanya mereka bertiga yang tersisa di sana.

"Tinggal aja. Rea masih mau temenin Mama," jelas Rea dengan suara lemah nyaris tak terdengar.

"Rea, jangan kayak gini. Papa nggak mau kamu terpuruk seperti ini sayang," tegur Edward lembut yang mampu membuat Rea mendongak menatap Papanya.

"Rea kangen Mama," gumam Rea lirih sambil terisak pelan.

"Udah dek. Mama udah bahagia. Doain yang terbaik buat Mama aja ya," ucap Reyhan lembut. Rea mengangguk dan langsung berdiri dari jongkoknya. Membuat Reyhan tersentak dan otomatis berdiri diikuti Edward.

"Kamu mau kemana, Nak?" tanya Edward.

"Pulang, kan? Ayo, Rea capek. Mama pasti nggak mau Rea kecapekan." Edward dan Reyhan bernapas lega saat mendengar jawaban dari Rea.

Mereka berjalan meninggalkan tempat pemakaman dan masuk ke dalam mobil yang terparkir. Reyhan mengendarai mobil untuk pulang ke rumah.

***

Reno duduk di atas kasurnya. Menatap lurus ke depan, memikirkan keadaan Rea ditambah lagi kedatangan Allan yang saat di rumah sakit merangkul Rea seperti orang yang sudah lama dekat.

Reno berjalan keluar kamarnya. Menuruni tangga menuju ke arah dapur untuk menemui Bundanya yang sedang menyiapkan makan malam hari ini.

"Bun," lirih Reno memanggil.

Rose menghentikan kegiatannya dan menolehkan kepala, menatap Reno yang saat ini sudah duduk di bangku meja makan.

"Kenapa, Ren?" tanya Rose sambil mendekat dan berdiri di dekat Reno.

"Sebenernya Allan siapanya Rea?" Rose sedikit kaget dengan pertanyaan Reno yang mulai membahas mengenai Allan. Sahabat masa lalunya.

"Memangnya kenapa?" balik tanya Rose memancing kejelasan Reno.

Reno menghela napas kasar sambil mengacak rambutnya frustasi.

"Kenapa semua perempuan yang Reno berusaha jaga dan lindungi, selalu ada Allan yang ikut campur! Kenapa, Bun sebenarnya!" frustasi Reno dengan napas yang mulai tersenggal.

Rose duduk di sebelah Reno dan langsung mendekap Reno. Mengusap lembut punggung Reno berusaha menenangkan.

"Sayang, udah. Jangan begini. Bunda tahu kamu masih trauma, tapi jangan kayak gini." Reno mendongak menatap Rose dengan mata yang berkaca-kaca.

Rose yang melihat tatapan sendu dari anaknya, berusaha tak merasakan kesedihan masa lalu yang membuat hidupnya jadi serumit ini.

"Seandainya Papa nggak salah mengadopsi anak. Pasti hidup kita nggak sesulit ini, Bun."

Air mata Rose meluncur secara tiba-tiba. Masih terlihat jelas betapa ia merasa hancur pada saat itu.

Reno merasa bersalah saat melihat Bundanya menangis dengan tatapan terluka.

"Bun, maaf. Reno merasa bersalah buat Bunda nangis lagi," gumam Reno yang membuat Rose tersenyum tulus dan mengusap lembut rambut Reno.

"Nggak kok, selama ada Reno, Bunda selalu bahagia."

Reno tersenyum dan mengusap air mata Rose yang tersisa di pipinya dengan kedua ibu jarinya.

"Bun, beberapa hari lagi keluarga Rea mau bikin acara tahlilan buat ngedoain almarhumah tante Sarah," ucap Reno menjelaskan.

"Kalo gitu, Bunda harus ikut, Ren. Besok temenin Bunda ya." Reno mengangguk dan membuat gerakan jari seolah menyetujui.

"Semoga Rea dalam keadaan baik-baik aja sekarang," batin Reno sambil membayangkan wajah Rea yang sedang tersenyum saat berbicara dengannya.

---------------
TBC

REANA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang