Tiga Puluh Tujuh

7.2K 260 3
                                    

Beberapa minggu yang lalu, Rea sudah melakukan study tour ketempat yang ditentukan oleh gurunya.

Jujur saja, selama berada di lokasi, Rea tak merasa kan ketenangan karena mengkhawatirkan keadaan Mamanya yang di rawat di rumah sakit.

Ditambah lagi sikap Reno yang sekarang berubah cuek kepadanya. Entah karena Rea mengungkapkan perasaan atau hal yang lain. Bahkan saat Rea bertanya perihal kecil pun, Reno selalu menjawab singkat dan terkesan terburu-buru. Rea tak menyukai ini.

Tapi Rea tak menyesal telah berkata jujur kepada Reno tentang perasaannya. Hanya sedikit kurang nyaman dengan tanggapan perilaku yang Reno berikan.

Sampai sekarang, keadaan Mama Rea justru semakin buruk. Dokter bahkan memvonis bahwa hidup Mamanya tak lama lagi. Sewaktu dokter mengatakan hal itu, Rea langsung menangis kencang, sedangkan Papa Rea mencengkram erat kerah jas dokter pada saat itu. Reyhan melerai, namun Papanya keras kepala dan marah-marah kepada dokter.

Rea merasa benar-benar terpukul dengan perkataan dokter yang menurutnya sok tau. Rea membenci kalimat itu. Yang selama ini berusaha Rea pikirkan adalah, Mamanya pasti sembuh dan bisa berkumpul lagi bersama keluarganya seperti dulu. Utuh, nyaman dan harmonis.

Malam ini Rea sedang berdiri melamun di balkon kamarnya. Memandang langit yang di tutupi awan hitam pertanda hujan turun sebentar lagi. Kilat pun sepertinya mendukung bagaimana ketakutan Rea saat ini terhadap Mamanya.

Suara derit pintu kamar terbuka membuat Rea menoleh dan mendapati Reyhan yang sudah masuk ke dalam kamar Rea. Mendekati adiknya dan berdiri di sebelahnya.

"Galau?" tanya Reyhan dengan salah satu alis terangkat.

Rea menoleh menatap Reyhan. "Nggak. Cuma kepikiran Mama aja."

Reyhan mengangguk mengerti. Lelaki itu juga tau apa yang dirasakan oleh adiknya.

"Mama pasti sembuh, Re. Berdoa yang terbaik aja ya," ucap Reyhan lembut. Rea berusaha menahan tangis sekuat mungkin. Dirinya lelah untuk menangis.

"Iya, Bang," jawab Rea tersenyum tipis.

Reyhan merogoh saku celananya saat nada handphone berdering dari dalam saku nya.

Reyhan menerima telpon dengan raut wajah yang tampak terlihat cemas.

"Wa'alaikumussalam. Ada apa Papa nelpon Reyhan?"

Rea menatap Reyhan saat kalimat Papa terlontar dari mulut Reyhan. Jadi saat ini yang sedang berada di panggilan adalah Papanya.

"Apa? Nggak mungkin!" Reyhan menjawab dengan nada tinggi. Melirik ke arah Rea yang sudah menatap cemas Reyhan.

"Iya, Pa. Reyhan sama Rea ke rumah sakit sekarang," balas Reyhan hingga beberapa detik kemudian panggilan terputus.

"Kenapa, Bang? Ada masalah?" tanya Rea dengan keringat yang nampak di dahinya. Ia sangat khawatir sekarang.

"Mama koma lagi, Re. Keadaannya makin parah. Kanker otak yang menggerogoti udah semakin bahaya," jelas Reyhan yang membuat Rea menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan di sertai isakan yang mulai terdengar.

Reyhan berusaha menenangkan Rea yang mulai menangis terduduk di lantai balkon kamarnya.

"Udah, Re. Sekarang ikut abang ke rumah sakit ya. Kita lihat keadaan Mama." Rea langsung berdiri dari duduknya dan segera menarik Reyhan keluar kamar, bermaksud agar segera menuju rumah sakit sekarang juga.

Sesampainya di rumah sakit, Rea dan Reyhan mendekati Papanya yang sedang duduk di depan ruangan IGD dengan kedua tangan di atas paha yang menumpu kepala.

"Papa," lirih Rea. Edward mendongak dan tersenyum tipis. Menyuruh Rea untuk duduk di sebelah kiri, sedangkan Reyhan di sebelah kanannya.

Rea memeluk Papanya dari samping dan langsung menangis kencang. Edward membalas pelukan anaknya tak kalah erat untuk setidaknya meredamkan suara tangisan Rea dan memberi ketenangan untuk anaknya.

"Udah. Rea udah besar masa nangis. Malu sama sepupu yang masih sd," ucap Edward terkekeh berusaha mencairkan suasana. Saat menengok ke arah kanan, Edward melihat Reyhan mendongak sambil memejamkan matanya.

Edward tau, putranya pasti menahan tangis sekuat mungkin. Seperti dirinya yang sejak tadi menahan sesak di dada demi memberi semangat kepada dua anaknya.

Pintu IGD terbuka dengan dokter yang keluar dari dalam. Edward melepas pelukan Rea dan berdiri dari duduknya menhampiri sang dokter dengan rasa khawatir yang begitu besar.

"Bagaiman keadaan istri saya, Dok?" tanya Edward. Dokter menghela napas pelan.

"Keadaanya semakin memburuk, Pak. Kita harus melakukan operasi sesegera mungkin," jelas Pak Dokter yang membuat Edward mengangguk mengerti.

"Kalau begitu lakukan tindakan secepatnya, dok. Yang terpenting istri saya sembuh." dokter mengangguk dan mengajak Edward untuk ke ruanganya membicarakan tindakan selanjutnya.

Rea menatap Reyhan dengan raut wajah sendu. Reyhan tersenyum tipis membalas tatapan Rea.

"Bang, nyusul Papa ke ruang dokter yuk," gumam Rea pelan.

"Enggak, Re. Kita di sini aja tunggu kabar kelanjutannya," ucap Reyhan dengan tangan mengusap lembut puncak kepala Rea.

Rea mengangguk dan menghela napas lelah dengan semua ini. Rea ingin Mamanya sembuh.

"Rea nggak mau mikirin Reno lagi, Bang. Reno nggak mikirin Rea soalnya," ucap Rea pelan namun masih didengar oleh Reyhan.

"Loh, kenapa gitu?" heran Reyhan.

"Reno bahagia sama Aletta, bukan Rea. Rea mau fokus mikir Mama. Nggak mau mikirin Reno titik." Reyhan terkekeh mendengar nada merajuk dari Rea.

"Iya, terserah Rea. Tapi harus tetap berbuat baik seperti yang Mama ajarkan ke kita dari kecil ya, Re," ujar Reyhan memperingati Rea.

Rea tersenyum lembut dan mengacungkan jari jempolnya pertanda setuju dengan ucapan Reyhan.

Rea berharap, Mamanya segera sembuh dan menemaninya bertumbuh dewasa hingga sukses kedepannya.

-----------------------
TBC

REANA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang