Dua Puluh Delapan

6.9K 231 2
                                    

Liburan telah berlalu, begitu pula Rea yang sudah resmi menjadi anak kelas XI. Rencana berlibur bersama saat liburan harus tertunda karena aktivitas masing-masing yang sedikit menghalangi rencana.

Saat ini Rea duduk di pinggir lapangan basket indoor. Duduk sendiri sambil melihat aktivitas siswa maupun siswi yang berada di sekitarnya.

Ketiga sahabatnya masih berada di kantin menikmati jam istirahat, Rea enggan ikut dan memilih menuju tempat ini yang bisa dibilang sepi, kecuali jika ada acara-acara tertentu.

Rea menatap dua orang yang sedang iseng bermain basket. Rea memicingkan mata saat salah satu dari mereka mendekat ke arahnya.

"Hai, Rea!" sapa nya dengan senyuman sambil mendudukan diri di sebelah Rea.

"Hai, Ferro." Rea merileks kan tubuhnya saat mengetahui orang itu teryata Ferro.

Pandangan mata Rea beralih menatap ke bawah, dan masih melihat orang yang tadi bermain bersama Ferro sedang memainkan bola basket asal-asalan.

"Lo liatin Allan ya?" pertanyaan Ferro berhasil membuat pandangannya beralih menatap Ferro yang saat ini berada di sebelahnya.

"Loh, itu kak Allan yang kapten futsal, 'kan?" tanya Rea penasaran.

"Iya. Dia ngajak gue kesini buat main sebentar. Katanya keadaan hatinya lagi nggak baik," jelas Ferro menatap sendu ke arah Allan.

Rea heran, mengapa tatapan Ferro berubah menjadi sendu saat menceritakan Allan. Dan darimana mereka bisa saling mengenal.

"Gue kenal Allan udah sejak lama. Bahkan, Reno orang yang dulu deket banget sama Allan. Tapi sekarang beda." Rea mendengarkan setiap kalimat yang terlontar dari mulut Ferro dengan seksama.

"Maksudnya?"

Ferro tersenyum ke arah Rea.

"Dulu kami semua sahabat." Rea menampakan raut wajah kaget sekaligus tak percaya.

Setiap hari saja Rea melihat Reno dan Allan selalu memberikan tatapan permusuhan satu sama lain. Tapi tak dapat di sangka, ternyata ada alasan tersendiri untuk mereka berbuat seperti itu.

"Nggak percaya, 'kan? Gue juga nggak percaya, kita yang awalnya udah kayak saudara, sekarang malah kayak musuh. Sebenernya gue sama Allan udah baik-baik aja. Tapi Reno masih belum bisa memaafkan Allan. Gue udah bujuk terus biar Reno maafin Allan. Tapi entah karena apa, Reno tetap belum bisa maafin Allan." Ferro menghela napas pelan dengan pandangan masih menatap ke arah Allan yang saat ini duduk berselonjor di pinggir lapangan.

Rea sebenarnya ingin sekali bertanya banyak. Tapi pembicaraan ini sudah termasuk ke urusan pribadi. Rea takut terlalu mencampuri urusan orang lain dan justru di anggap terlalu kepo jika bertanya lebih banyak lagi.

"Semua butuh waktu Fer. Reno mungkin masih kecewa sama apa yang udah di perbuat kak Allan. Seiring berjalannya waktu, Reno pasti bisa maafin kak Allan walaupun nggak sekarang. Itu pasti." hanya itu yang dapat Rea ucapkan.

Ferro mengangguk setuju dan mengacungkan jari jempolnya ke arah Rea.

"Lo benar. Gue juga nunggu waktu itu tiba." Rea tersenyum lega saat melihat wajah sendu dari Ferro sudah tak terlihat lagi.

***

"Rea! Omg gue seneng banget asli!" teriak Laras berlari masuk ke dalam kelas. Mendekati Rea yang sedang duduk di bangku dengan beberapa buku di hadapannya.

"Apaan sih toa banget punya mulut," ketus Rea karena kaget dengan teriakan Laras.

"Ih, gue lagi happy nih. Kepo sama cerita gue nggak?" Rea menggelengkan kepala, yang justru membuat senyum merekah Laras tegantikan dengan dengusan sebal.

"Apa nih apa? Ghibah ya? Ikutan dong," timpal Vika yang kini berada di depan meja Rea.

"Ah, lo mah kalo urusan ghibah nomer satu," ucap Laras terkekeh jail.

"Habisnya ghibah enak sih." Rea menghela napas pelan karena harus sabar mendengar debatan tak berguna dua temannya.

"Desma mana?" tanya Laras menatap sekeliling.

"Lagi sama Satya ke kantin. Tadi Satya kesini ngajakin Desma," jelas Vika yang mendapat anggukan mengerti dari Laras.

"Eh, gue tadi liat si Ferro lagi debat sama cewek anak IPS 1 yang akhir-akhir ini mereka keliatan deket banget." Rea menaikkan salah satu alisnya karena heran dengan raut kebahagiaan Laras saat menceritakan hal ini. Padahal bisa dibilang perdebatan adalah berita buruk.

"Kok lo bahagia sih? Aneh lo tolol," ujar Rea dengan tangan menempeleng pelan kepala Laras.

"Ih, ya bahagia dong. Apalagi kalo mereka udah nggak deket. Gue makin bahagia." Vika dan Rea saling berpandangan, merasa heran dengan bahagia Laras yang terkesan di atas penderitaan orang lain.

"Terserah si kampret aja udah. Gue diem," ucap Vika yang membuat Laras menyengir sambil menunjukkan jari tengahnya.

"Gawat woy gawat!" Desma berlari cepat memasuki kelas dan berteriak nyaring. Yang membuat seisi kelas menengok spontan ke arah Desma.

"Kenapa Des? Atur napas dulu." Desma mengangguk menyetujui ucapan Rea sambil menetralkan deru napas yang masih kurang stabil.

"Reno sama Kak Allan, Re. Mereka berantem." Rea langsung berdiri dari duduknya. Menatap serius ke arah Desma.

"Lo serius?"

"Beneran Re. Gue disuruh Satya buat panggil lo," jelas Desma dengan napas yang mulai stabil.

"Sekarang mereka dimana?" tanya Rea yang tak bisa menutupi rasa khawatirnya.

"Di taman belakang sekolah." Rea mengangguk dan berlari keluar kelas. Diikuti Desma, Vika dan Laras yang juga berlari menuju taman belakang sekolah.

Hatinya berdegup kencang. Udara di sekitar Rea terasa panas. Kabar bahwa Reno bertengkar dengan Allan membuat rasa kekhawatiran Rea datang seketika.

Apalagi info yang diberikan Ferro saat berada di lapangan basket indoor siang tadi semakin membuat Rea merasa cemas dengan keadaan Reno dan Allan.

----------
TBC


REANA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang