Malam itu, Leora guling-gulingan di kasurnya. Setelah pulang dari kencan bersama Damian, Leora tidak bisa memungkiri kalau ia kegirangan sendiri.
Leora membenamkan wajahnya di balik selimut. Ia mengigiti bibir bawahnya dan cengar-cengir. Tak berapa lama deringan telepon terdengar diiringi getaran tanda adanya telepon yang masuk.
Leora menarik napas dan meraih teleponnya di atas meja.
Damian is calling...
Leora tak bisa menahan senyum di bibirnya. Ia menarik napas lagi dan berdeham. Lalu berusaha untuk menormalkan dirinya. Ia menekan tombol jawab.
Tak berapa lama, terdengar suara berat Damian.
"Halo Ra?"
Leora mengulum-ngulum bibirnya dan sesekali mengigiti kuku. Hanya dengan Mendengar suara Damian Leora bisa merasa tenang sendiri.
"Hai Dam. Kenapa telepon?" tanya Leora sambil mengambil bantal dan memeluknya.
"Hayo tebak kenapa?" Terdengar suara jahil Damian.
"Mana gue tahu. Makanya gue nanya." Leora menjawabnya sambil meremas-remas bantal gulingnya gemas sendiri.
"Gue kangen lo. Makanya gue telepon," ujar Damian dengan nada santai.
Debaran aneh itu lagi-lagi muncul di benak Leora bersamaan dengan pipi Leora yang bersemu merah.
"Lo kangen gue juga enggak?"
"Enggak. Kan tadi baru aja ketemu." Leora berujar sambil senyum-senyum sendiri. Ia berbohong, sebenarnya ia sendiri tidak bisa melepas Damian dari ingatannya.
"Yah, jadi gue rindu sendiri nih?" Terdengar suara lemas Damian yang membuat Leora lantas tersenyum.
"Iya, kasian deh lo!" Ujar Leora dengan nada meledek. Membalas ledekan laki-laki itu selama ini.
"Mainnya bales dendam nih ye..."
"Gue yakin, lo pasti kangen gue. Jangan bohong deh. Gue tuh emang ngangenin."
"Siapa bilang?" tanya Leora dengan nada ketus padahal ekspresinya tengah tersenyum senang.
"Mama gue," jawab Damian dengan nada polos.
"Yeh, bodo amat kan Dam."
"Jangan dibodo amatin dong guenya." Damian berujar dengan nada sedih.
"Maunya diapain?" tanya Leora.
"Disayang."
Hanya kata itu, hanya kata itu. Tapi Leora bisa merasakan perutnya dihinggapi banyak kupu-kupu. Nyawanya seakan menghilang begitu saja.
"Ra?" Tidak mendapat jawaban apapun dari gadis itu, Damian bertanya.
"Ya?" ujar Leora berusaha bersikap biasa saja.
"Jadi?"
"Jadi apaan Dam?"
"Jadi mau sayangin gue enggak?"
Leora lagi-lagi bereaksi aneh. Ia menendang bantal gulingnya sampai keluar dari kasur. Leora menjauhkan teleponnya. Kemudian menggerak-gerakkan kakinya di atas kasur anarkis.
Ia lalu berguling lagi. Setelah selesai, Leora mengambil lagi teleponnya. "Maaf Dam, tadi gue ada urusan dulu. Hehe.. jadi kenapa?"
"Urusan apa ambyar?"
Leora menepuk jidatnya sebal. Bagaimana mungkin laki-laki ini bebas mempermainkan perasaannya. "Urusan, ngapain juga ambyar." Leora berujar dengan nada ketus.
"Ngaku aja susah amat Ra. Ambyar ke pacar sendiri itu gapapa."
"Enggak dosa dan enggak salah sama sekali."
"Jadi, lo ambyar enggak?" Tanya Damian dengan nada pelan.
"Ya," ujar Leora dengan wajah memerah.
Terdengar suara tertawa dari Damian. "Nah gitu dong."
Leora mengalihkan pandangan, mencari cara untuk memecah keheningan dari telepon itu. Tatapannya terhenti pada jam dinding di kamarnya. Sudah menunjukkan angka satu pagi. Ia berujar, "Dam, lo enggak tidur?"
"Peduli banget sih, pacarnya Damian." Meski terdengar menggelikan tapi lagi-lagi akal sehat Leora sedang tidak sehat. Membuat gadis itu justru tersenyum lebar.
"Gue masih ada urusan Ra. Ya biasalah." Leora mengangguk saja mengerti. Ia paham betul pasti Damian memiliki banyak urusan yang harus dikerjakan.
"Perusahaan lo, bergerak di bidang apa aja sih Dam. Kayaknya banyak banget."
"Iya, emang banyak Ra. Gue juga pusing banyak yang harus gue pegang."
"Yang utama dalam bidang apa Dam?" Tanya Leora.
"Bidang..., pelayanan sih." Terdengar suara Damian yang sedikit meragu dalam mengatakan pelayanan itu.
Namun akhirnya Leora mengangguk saja mengerti. "Pelayanan dalam hal apa? Kesehatan? Masyarakat?" tanya Leora ingin tahu.
"Pelayanan, terhadap orang berkebutuhan khusus sih..."
"Oh. Keren juga Dam. Setahu gue jarang ada perusahaan yang utamain itu." Leora berkata dengan nada riang.
"Ya, justru karena jarang makanya perusahaan gue paling rame di bagian itu." Damian berujar.
"Mau tambah lagi minumannya?" Samar-samar Leora bisa mendengar tawaran itu dari suara wanita. Leora mengernyit.
"Itu siapa Dam?" tanya Leora.
"Ini, biasa pelayan gue. Dia biasa anterin minum biar gue enggak ngantuk. Hehe." Damian berujar kemudian Leora paham.
"Btw, Ra. Gue matiin dulu ya teleponnya. Gue harus selesaiin laporan keuangan besok pagi."
"Good night Leora." Leora tak bisa memungkiri kalau senyumnya mengembang seketika hanya karena ucapan selamat malam.
"Udah pagi Dam," kata Leora berusaha bersikap biasa saja.
"Ih, biarin. Biar sweet gitu. Hehe."
"Good nite, Princess Leora. Sweet dreams."
Dengan ragu, Leora berkata, "Good night too, Prince Damian."
"Ciailah. Kita romansa banget. Gue jadi cenat-cenut nih. Udah kayak di kerajaan-kerajaan Inggris. Haha."
"Suka-suka lo lah Dam."
"Bye Leora."
"Bye Damian."
"I love you so much Leora."
Leora dapat merasakan pipinya memanas seketika. "I love you more, Damian."
"Cieee... Bisa aja nih pacarku balesnya." Damian berujar iseng.
Leora hanya mendengus. "Kapan nih matinya."
"Heh. Ngomongnya mati-mati."
"Teleponnya maksudnya Damian! Kenapa sih lo nguji kesabaran gue terus."
"Nih, nih sabar princess. Selamat tidur Leora, bahagia selalu ya sama gue. Gue sayang banget sama lo."
"Iya Dam."
Setelahnya bunyi sambungan terputus terdengar di telinga Leora. Bersamaan dengan senyuman yang menggembang di bibir gadis itu.
"Lo bohong sama gue Damian. Jelas perusahaan lo bukan perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan orang berkebutuhan khusus."
"Meski benar juga. Pelayanan untuk para penjabat yang membutuhkan keperluan seksual yang tidak terpenuhi."
18.10
14/Okt/2019

KAMU SEDANG MEMBACA
Kalopsia✓
Teen Fiction#6 dalam Attention (22 Juli 2019) Tentang Leora yang selalu menyakiti dirinya sendiri agar diperhatikan dan karena ia merindukan rasa sakit. Tiba-tiba seorang kasanova sekolah bernama Damian menawarkan segalanya. Damian menawarkan perhatian yang tid...