25- End

9 2 0
                                    

Hari ini Leora tidak pulang bersama Damian karena harus menyelesaikan tugas piket. Sekarang, Leora sudah selesai tugas piket.

"Na, gue duluan ya!" Kata Leora pada teman piketnya Lana.

Lana mengangguk dan melambaikan tangan. Leora menyusuri koridor sekolah. Kemudian menuruni tangga. Saat Leora turun ke undakan tangga yang terakhir. Ia terhenti.

"Pokoknya lo pada harus bersikap peduli sama Leora ngerti?!" samar-samar Leora bisa mendengar suara Damian dari arah kelas 11 IPS 1.

Leora berdiri tepat di depan kelas itu. Menempelkan telinganya di pintu. Penasaran apa yang dilakukan Damian di dalam kelas itu.

"Pokoknya buat dia ngerasa seolah ini beneran terjadi. Ngerti kan lo? Jangan sampe rahasia kita ketahuan sama Leora." Leora mengernyitkan wajahnya. Ia semakin berfirasat buruk.

"Karena dalam menghancurkan orang. Bukan dengan kekerasan tapi dengan kelembutan. Kelembutan yang membuat orang itu terlena hingga lupa, kalau kelembutan itu akan mengantarkannya pada kehancurannya sendiri." Meski samar-samar, Leora yakin sekali yang berkata adalah Damian.

Leora merasakan dadanya sesak begitu saja. Ia benar-benar tidak ingin mendengar lebih jauh lagi, tapi separuh jiwanya tetap ingin di situ. "Dan selamat bagi kita semua karena berhasil membuat Leora menangis karena ibunya meninggal. Selamat karena berkat kecerdasan Nadine dalam mencari racun." Leora mengepalkan tangannya, ia sungguh tidak menyangka kalau Damian dan Nadine justru yang membunuh ibunya.

Leora dapat merasakan air mata jatuh begitu saja di pipinya. "Gila! Emang Nadine minta abang pacarin," ujar suara yang Leora yakini suara Radith.

"Heh. Nadine tunangan gue. Habis lulus kuliah, gue bakal nikahin dia. Enak aja lo!" Berikutnya Leora yakin itu Damian yang mengatakan.

Leora jatuh tersungkur begitu saja di depan pintu kelas. Ia memejamkan matanya rapat.

"Ini cuma mimpi. Ini cuma mimpi, Ra. Cepat bangun!"

Ia berharap segala yang ia dengar hanya mimpi. Namun sebenarnya sebaliknya. Selama ini, kebahagiaan yang Leora terima. Hanya mimpi. Dan ini kenyataannya.

Leora menarik napas dalam dan bangkit berdiri. Ia mendobrak pintu begitu saja. Dan tersenyum. Terlihat wajah terkejut dari masing-masing orang itu.

Leora bisa melihat Sam, Nadine, Damian, Radith, dan salah seorang siswi perempuan yang Leora duga berperan sebagai orang yang waktu itu mengikatnya dan mengaku sebagai fans fanatik Damian.

Leora berusaha keras untuk tidak menangis saat itu juga. "Hahaha! Gimana rasanya ketahuan?" Ujar Leora menyeringai.

Damian terlihat tersenyum balik ke arah Leora. "Sayang banget Ra. Bentar lagi padahal klimaksnya bakal dimulai." Damian berujar seolah tidak takut sama sekali.

Damian terlihat merengkuh pinggang Nadine. Nadine tengah memilin-milin rambut panjangnya dan tersenyum. "Lo berniat hancurin gue dan Damian kan Ra? Tapi lihat, siapa yang hancur sekarang."

Leora berjalan mendekat ke arah Nadine. "Gue enggak pernah bisa hancur Nad. Lo mungkin lupa, kalo gue enggak pernah punya perasaan." Leora berujar dingin kemudian menatap ke arah lengan Damian yang tampak begitu erat memeluk pinggang Nadine.

Leora beralih pada Damian. Ia tersenyum lebar. "Mungkin lo lupa Ra, sejak ada gue. Lo mulai memiliki perasaan kan? Lo jelas menyukai gue Ra. Gue membuat lo memiliki perasaan lagi." Damian berujar sambil menatap dalam iris Leora.

Leora menampar wajah Damian dengan kencang. Membuat seisi ruangan menggemakan suara tamparan itu. Damian memegangi pipinya dan kemudian tersenyum.

Nadine terlihat khawatir dan mengelus-elus pipi Damian. "Lo tahu Dam, gue benci lo. Gue benci akan kenyataan kalau gue jatuh cinta sama lo. Dasar bajingan!" Leora berujar dengan nada penuh amarah.

"Apa sebenernya mau lo semua? Kenapa lo ngelakuin hal kayak gini ke gue?" Leora berujar setengah berteriak sambil menahan air matanya.

Damian mendekatkan diri pada Leora dan menarik dagu gadis itu. "Menghancurkan orang adalah hobi gue Ra. Terutama hancurin orang yang udah hancur kayak lo. Lo mungkin enggak tahu, sumber kebahagiaan gue bukan ngelihat lo bahagia. Tapi ngelihat orang lain menderita."

"Apalagi yang gue buat hancur adalah anak dari Adiguana Isaac Tjahrir." Leora terdiam mendengar nama ayahnya tersebut oleh Damian.

"Mungkin lo enggak tahu. Isaac papa lo adalah orang yang paling papa gue percaya." Damian berujar sambil menekan lebih keras dagu Leora.

"Isaac mengetahui segalanya tentang perusahaan papa. Papa enggak segan-segan kasih tahu hartanya ada di mana aja. Lo tahu kelanjutannya Ra?"

Leora merasa oksigen di sekitarnya menipis. Rasanya begitu banyak kenyataan yang menamparnya hari ini. Ia benar-benar tidak kuasa menahan segalanya.

Damian melepas cengkeramannya dan berbisik tepat di telinga Leora. "Isaac mengkhianati papa. Dia mencuri sebagian harta papa dan mengajukan resign."

"Awalnya papa kira bukan dia yang mencuri. Papa yakin kalau Isaac resign dengan hilangnya harta bendanya tidak ada hubungan. Lo jelas tahu seberapa percayanya papa gue sama papa lo." Kali ini Damian menekankan perkataannya.

"Papa membiarkan Isaac resign. Dan justru memecat Banyu, salah satu bawahan papa yang bertugas menjaga harta benda papa."

"Papa mengira Banyu yang mencuri. Sampai kemudian, beberapa tahun berlalu. Isaac membangun perusahaan. Perusahaan yang memiliki letak tepat di tanah papa yang hilang. Dan membangun juga cabang-cabang tepat di tanah papa yang hilang."

"Rupanya Isaac mencuri serfitikat tanah papa cukup banyak. Lo harus tahu betapa marahnya papa saat itu. Sejak saat itu, gue dipaksa untuk bisa mengalahkan perusahaan yang mengkhianati perusahaan papa gue."

"Gue capek Ra. Papa gue banyak menuntut. Dia sering berbuat kasar sama gue, padahal semua ini bukan salah gue. Akhirnya gue memutuskan untuk menyewa pembunuh bayaran dan membunuh papa lo. Rupanya berhasil. Papa lo emang pantas mendapatkannya." Damian berujar sambil menatap dingin. Leora bisa merasakan air mata keluar dari kelopak matanya. Leora menutup mulutnya dan menangis.

"Gue Damian. Enggak segan-segan itu nyingkirin setiap orang yang menghalangi jalan gue. Ibu lo pasti udah ngomong ini ke lo."

"Gue sebel. Ibu lo ngomong duluan, jadi enggak ada suprise. Itu yang buat gue ngebunuh ibu lo. Dia membuat lo mengetahui rencana gue." Leora dapat merasakan tubuhnya begitu lemas. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana sekarang.

"Iya, meskipun pada akhirnya seluruh keluarga lo bakal mati ditangan gue. Tapi tadinya, gue mau bikin ibu lo mati setelah lo mati. Agak melenceng sih. Tapi enggak apa. Justru bagus, gue jadi mengikis psikis lo. Melihat satu per satu keluarga lo meninggal, jelas buat lo kehilangan akal kan?" Damian berkata.

"Dan, Lo tahu. Kenapa setiap lo lagi butuh gue. Gue selalu ada di sisi lo? Karena gue sendiri yang nyebabin kesengsaraan di hidup lo."

"Berharap kalau gue benar-benar peduli sama lo? Jangan harap Ra. Asal lo tahu, tidak ada yang gratis di dunia ini. Lakukan sesuatu maka orang akan menghargai lo."

Leora mencengkram kemeja Damian.
"Cukup Damian! Lo brengsek! Lo udah ngebantai keluarga gue. Puas lo? Puas?" Teriak Leora dengan tangisan.

Damian mengukir senyum di bibirnya lalu mengeluarkan sebilah pisau dari kantung celananya. "Enggak gue belom puas. Sekarang gue bakal kabulin permintaan lo di jembatan waktu itu." Leora terdiam namun kemudian tertawa. Membiarkan Damian menusukkan pisau itu tepat ke jantungnya.

Leora jatuh tergeletak sambil tersenyum. "Bu, pa. Leora bakal nyusul kalian. Kita bakal hidup bahagia bersama. Akhirnya Leora hidup bahagia."



22.25
18/okt/2019
Gimana gais gimana? Wkwk. Sudah ending. Horay!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 19, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kalopsia✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang