21

3 1 0
                                    

Leora telah siap mengenakan ransel dan hendak keluar dari rumah menuju sekolah. Namun ibunya lagi-lagi mencegatnya.

Leora mendesah. "Apalagi sih bu? Leora mau sekolah, entar telat."

Ibu Leora memegang bahu Leora kencang. Membuat Leora mau tak mau menatap ke arah kedua mata ibunya yang menahan amarah.

"Kenapa? Mau marah lagi? Entar aja pas Leora udah pulang kerja. Biar puas," ujar Leora sambil memainkan telepon.

Namun ibunya merebut telepon yang tengah digenggam Leora. Leora melotot. "Mau ibu apa?"

"Dengerin ibu baik-baik, Leora!"

Leora menyerah saja dan memutuskan menatap wajah ibunya itu. "Berhenti untuk dekat-dekat dengan Damian."

"Kenapa? Dia berbahaya?"

"Leora udah tahu bu. Enggak usah peringatin Leora lagi." Leora berujar dengan nada sinis.

"Leora dekat dengan dia juga untuk ngehancurin hidup dia. Leora enggak suka liat orang hidup bahagia sedangkan Leora hidup sengsara. Leora gunain dia untuk senjata Leora." Leora berujar dengan setengah menjerit.

"Ibu enggak pernah tahu kan? Seberapa besar efek kelakuan ibu ke Leora? Berhenti untuk terus ngatur Leora."  Leora berujar sambil melepas kekangan ibunya itu.

Namun seberapa besar kekuatan yang Leora kerahkan. Kekangan ibunya justru semakin kuat. Leora yakin setelah ini bahunya akan membiru.

"Bukan cuma itu Leora. Kamu harus tahu satu hal, papa Damian, Christopher Latheum Melviano. Dia sebenarnya penyebab papa kamu meninggal. Bukan karena penyakit. Papa kamu meninggal karena diracuni." Ibunya berkata dengan nada dalam.

Leora terdiam kemudian tertawa. "Ibu pikir Leora bakal percaya sama bualan ibu itu?"

Ibunya terdiam. "Kamu harus tahu kenyataan itu Leora. Sebelum kamu benar-benar menyesal karena berhubungan dengan keluarga Melviano."

"Kamu harus tahu, orang-orang yang ada di keluarga Melviano. Adalah orang-orang yang enggak ragu-ragu untuk bunuh orang yang menghambat jalan mereka. Bukan karena bisnis prostitusi dan gelapnya yang membuat mereka kaya."

"Tapi, cara mereka menyingkirkan setiap saingan yang ada."

Leora meneguk ludahnya. "Berhenti untuk terus bohong. Jelas-jelas ibu yang selama ini bilang kalo Leora penyebab dari kematian papa. Sekarang Damian. Ibu bener-bener enggak bisa liat Leora bahagia barang sedetik pun ya?!"

Tiba-tiba air mata keluar dari pelupuk mata ibunya. Leora hanya berdecih.

"Drama banget sih."

"Leora maafin ibu yang enggak bisa nerima kenyataan. Dan bilang kalo kamu penyebab semuanya. Ibu serius Leora, Damian yang kamu dekatin. Bukan orang yang bisa kamu hancurin gitu aja."

"Hahaha. Ibu baru sekarang minta maaf? Terlambat banget. Mending sekarang Leora pergi ke sekolah daripada dengerin omong kosong ibu."

Cengkraman ibunya melonggar membuat Leora lantas menggerakan bahunya dan keluar dari rumah. Ia memasangkan earphone pada telinganya dan menaiki sepeda.

Ia mengendarai sepedanya dengan kecepatan penuh. "Damian bukan orang yang bisa kamu hancurkan dengan mudah."

"Ibu benar-benar enggak bisa liat gue bahagia sedikitpun ya. Baru gue bahagia bisa megang senjata semacam Damian. Sekarang disuruh lepas. Bilang aja enggak mau liat gue bahagia."

"Gue tahu, Damian emang bukan orang biasa. Tapi, kebohongan ibu tadi benar-benar buat gue enggak abis pikir. Kenapa sih gue punya keluarga gini banget."

Leora berujar sendiri dalam hatinya. Ia menarik napas dalam. "Pa, Leora benar-benar butuh papa. Andai aja papa masih hidup. Hidup Leora mungkin enggak akan sesulit ini."

Leora tanpa sadar telah sampai di sekolah. Ia memarkirkan sepedanya dan berjalan menyusuri koridor yang sudah ramai karena sudah mau masuk.

Meski memakai earphone. Leora bisa mendengar bisik-bisik orang yang membicarakannya.

"Weh, itu loh pacarnya Damian."

"Beruntung banget gila. Pacaran sama Damian."

"Iya, Damian kan serba perfect."

"Tukeran tempat dong."

Leora hanya tersenyum lebar. "Lihat! Gue bisa membuat kalian semua enggak berkutik hanya dengan Damian. Liat! Gue bisa buat semua orang menyesal karena telah menyakiti gue hanya karena adanya Damian."

"Gue jelas enggak akan melepas lo dengan mudah, Damian. Karena cuma lo yang bisa kasih gue sebanyak ini."

Tak berapa lama, sebuah tangan menggenggam begitu saja tangan Leora yang tergantung di udara. Leora lantas menengok siapa. Damian berdiri di sebelahnya sambil menggenggam tangannya.

Leora mau tak mau tersenyum bahagia. Ia melepaskan earphone dan menikmati tatapan orang-orang yang iri padanya.

"Weh, gila sih. Gue jadi ceweknya bahagia banget. Digandeng ditengah umum gini."

"Tuhan, kirimin gue cowok macem Damian dong!"

"Astaga, retak hati dedek."

"Gila sih. Gila! Damian bener-bener jadi sweet sama tuh cewek."

Tiba-tiba tanpa aba-aba, Damian berjongkok di depan Leora. Dengan telaten Damian mengikat tali sepatu Leora. "Lo masa enggak nyadar sih, tali lo copot. Untung gue perhatian. Sampe gue rela jongkok gini loh."

Leora membulatkan matanya. Sedangkan sekelilingnya bersorak-sorak. Leora tersenyum lebar. "Lo lihat? Cowok berkuasa macam Damian bisa gue buat tunduk."

"Ah, makasih Dam. Lain kali gue bakal hati-hati," kata Leora. Kemudian setelah Damian sudah mengikat, Damian bangkit berdiri dan mengelus rambut Leora.

Terdengar jeritan-jeritan lagi. Leora benar-benar bahagia pagi itu. "Yuk!" Ajak Damian sambil menggandeng kembali tangan Leora.

Lalu keduanya berjalan menuju kelas. Diiringi dengan tatapan dan perhatian penuh dari seisi sekolah. Seakan Damian dan Leora adalah magnet yang membuat setiap orang hanya menatap pada keduanya.

Karena Damian, sang kasanova sekolah. Hidup Leora berubah sepenuhnya. Segala yang Leora inginkan, bisa dengan mudah ia dapatkan hanya jika berdekatan dengan Damian.

"Makasih Damian. Lo enggak akan gue sia-siakan."

18.45
14/Okt/2019

Kalopsia✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang