Leora telah selesai bekerja, ia berjalan pulang ke rumahnya. Ia menelusuri jalanan yang cahayanya sudah meremang sebab hari sudah malam.
"Kamu mau es krim rasa apa, sayang?" sebuah suara keibuan terdengar di telinga Leora. Leora lantas melihat ke arah sumber suara.
Benar saja, seorang ibu tengah menggandeng anaknya yang masih berumur sekitar lima tahunan. Di depannya ada tukang es krim. Langkah Leora terhenti begitu saja.
Anak dari ibu itu tampak begitu ceria karena akan dibelikan es krim. "Aku mau yang rasa coklat ma," ujar anak itu dengan suara kecil.
Ibu itu lantas membelikan anaknya es krim dan mengelus kepala anaknya. Mata Leora memanas seketika, ia menarik napas dalam.
Dan memejamkan matanya. "Ra, kamu mau es krim?" tanya seorang bapak kepada anak perempuannya yang masih kecil.
"Iya, aku mau yang coklat pa. Beliin ya!"
"Mama juga mau?" tanya anak perempuan itu polos pada ibunya.
"Enggak, kamu aja nak."
"Mama enggak pengen?"
"Enggak. Leora aja, mama udah kenyang."
Air mata mengalir begitu saja di pipi Leora. Andai, andai saja papanya masih hidup. Mungkin hidupnya tidak akan sesulit ini.
Leora menghapus air matanya. Terbayangkan semua perkataan menyakitkan yang diutarakan mamanya.
"Dasar anak setan! Gara-gara kamu, papa meninggal."
"Mungkin kalau waktu itu mama gugurin kamu, hidup mama akan lebih enak! Dasar anak biadab. Kamu tahu, seberapa besar perjuangan papa kamu? Papa kamu udah berjuang mati-matian untuk sembuhin kamu."
"Liat sekarang! Liat! Harta kita semuanya habis. Gara-gara kamu penyakitan. Tahu kenapa papa kamu meninggal? Karena dia enggak kuat lagi sama diri kamu."
"Memang dasar anak terkutuk. Pergi kamu! Jangan pernah pulang kalau enggak dapet duit, ngerti?"
"Memang saya itu sial banget dapat anak kayak kamu. Dasar anak penyakitan! Liat sekarang, setelah papamu ngorbanin banyak hal, kamu tetap enggak sembuh."
"Memang lebih baik kamu meninggal aja."
Air mata keluar lagi dari kelopak mata Leora. "Kenapa? Kenapa mama berubah ma?"
"Leora enggak pernah menginginkan kelainan ini ada pada diri Leora ma, Leora salah apa ma? Leora rindu pelukan hangat mama, kecupan mama, dan kasih sayang mama."
Leora menarik napas dalam, dan berjalan lagi. Ia tersenyum. Leora terhenti begitu berada di atas jembatan. Ia lagi-lagi menatap pantulan dirinya di sungai.
Meski hanya remang-remang ia bisa melihat wajahnya yang tersenyum. Ia bisa melihat betapa hancur dirinya. Ia bisa melihat betapa berusaha dirinya untuk tersenyum.
Hanya rembulan sajalah saksi, kepiluan hidup seorang Leora. Leora menggenggam erat-erat besi pemisah antara sungai di bawah dan tempatnya berdiri.
"Apa gue benar-benar gagal? Bahkan setelah gue berusaha keras untuk lemah dan serba bisa."
"Bahkan setelah gue berusaha agar bisa mendapatkan perhatian orang lain. Gue diperhatikan, bukan?"
"Gue mendapatkan segala yang gue inginkan. Kepedulian, perhatian dari orang lain. Tapi, kenapa..., kenapa gue harus sedih gini."
"Gue berusaha untuk tidak lagi menjadi manusia. Karena orang-orang di sekitar gue pun sudah tidak memperlakukan gue sebagai manusia."
"Maafin Leora pa, maaf. Leora minta maaf, Leora minta maaf. Karena Leora memang benar-benar anak sial, mungkin benar kata mama. Kalau karena Leora, papa meninggal."
"Karena Leora, papa menderita. Maaf, Leora kangen papa. Leora pengen cepet-cepet ketemu papa. Leora ingin hidup di dunia yang jauh lebih adil, Leora enggak mau hidup di sini lagi pa."
"Leora capek pa. Meskipun Leora tidak merasakan sakit, itu hanya sakit tubuh. Leora tetap manusia, Leora tetap dapat merasakan sakit dalam jiwa."
"Papa, Leora mau nyusul papa. Sebenarnya ini sudah keseribu kalinya, Leora mencoba untuk bertemu papa."
"Semoga kali ini berhasil ya pa, Leora udah capek pa. Leora mau meninggalkan semuanya dan pergi menemui papa."
"Karena hanya papa yang peduli sama Leora. Hanya papa yang akan memeluk Leora bahkan setelah mengetahui Leora memiliki kelainan."
Leora menarik napas dalam. Sudah sejak lama ia ingin meninggal. Sudah sejak lama ia menantikan saat ini. Ia melihat sekeliling yang kebetulan sepi sebab hari sudah malam.
Ia tersenyum manis. "Bahkan kematian pun terasa lebih indah dan menyenangkan saat ini."
Lalu, ia mengangkat kakinya melewati besi pembatas. Hampir saja, sesenti saja. Tiba-tiba sebuah tangan menghentikannya.
Leora mendengus dan menatap si pemilik tangan. "Bahkan untuk matipun, gue enggak bisa."
"Biarin gue mati, Dam."
"Gue mohon, kali ini biarin gue mati. Itu keinginan terbesar gue."
"Gue capek Dam. Gue capek!" Teriak Leora dengan berlinang air mata dan rambut yang acak-acakan.
Wajah Damian meneduh, dengan tangan yang masih menggenggam tangan Leora. Damian menarik Leora pada pelukannya.
Leora tidak melawan, ia membiarkan tubuhnya itu terbawa ke pelukan Damian. "Ra, jangan tinggalin gue," ujar Damian dengan nada pelan.
"Biarin gue mati Dam! Gue mau mati sekarang. Gue mau nyusul papa gue. Gue mau mati," ujar Leora histeris sambil terisak.
Damian mengeratkan pelukannya. "Ra, jangan pernah ngomong kayak gini," ujar Damian dengan penuh penekanan.
"Lo harus tahu, betapa menderitanya gue saat denger lo ngomong kayak gini. Lo harus tahu, betapa paniknya gue saat liat lo mau terjun."
"Lo pikir mati itu main-main? Lo pikir gue akan baik-baik aja kalau lo mati?"
"Tolong jangan mati untuk gue Ra. Hiduplah bersama gue Ra."
"Gue cinta sama lo. Gue pengen bahagiain lo Ra."
"Sekalipun satu dunia membenci lo, gue akan tetap di sini. Mencintai lo, Ra."
Leora merasa tubuhnya melemas seketika itu, dan tumbang begitu saja. Damian buru-buru menangkap tubuh mungil Leora.
"Gue akan bahagiakan lo. Sampai lo lupa caranya bersedih Ra."
20.38
3 Okt 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalopsia✓
أدب المراهقين#6 dalam Attention (22 Juli 2019) Tentang Leora yang selalu menyakiti dirinya sendiri agar diperhatikan dan karena ia merindukan rasa sakit. Tiba-tiba seorang kasanova sekolah bernama Damian menawarkan segalanya. Damian menawarkan perhatian yang tid...