3

17 4 6
                                    

Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Leora mengemasi barang-barangnya dan menggendong tasnya. Sebagian besar murid kelas XI IPS 2 itu sudah berhamburan keluar. "Ra, mau pulang bareng?" Tanya Ara, salah satu teman sekelas Leora.

"Enggak usah Ar, lo duluan aja." Leora menolak sambil menampilkan senyum. Jujur, ia sangat ingin pulang bersama teman tapi ia tidak mau tipuannya terlihat terlalu cepat. Jadi ia memilih bermain pelan-pelan.

"Oh gitu, oke. Hati-hati ya Ra!" Kemudian Ara meninggalkan Leora di kelas.

"Ra, mau pulang bareng?" Kini giliran Nadia, Leora lagi-lagi menampilkan senyumnya.

"Lo duluan aja Nad. Gue ada urusan, hehe." Leora menolaknya dengan senyuman lagi.

"Oke," ujar Nadia sambil meninggalkan Leora.

Leora menatap sekelilingnya yang sudah renggang. Kemudian setelah memastikan tidak ada buku ataupun peralatannya yang tertinggal, Leora berjalan meninggalkan kelas.

Ia melewati koridor sekolah yang telah sepi. Leora menuruni anak tangga, namun baru saja ia mau menapakkan kakinya di tangga. Sebuah sapu tangan membekap mulutnya. Leora terkejut dan meronta-ronta dan berusaha untuk berteriak. Tapi bekapan itu begitu kuat, suaranya tenggelam.

Tubuh Leora kalah kuat dari orang yang membekapnya itu. Leora dapat merasakan kesadarannya menghilang perlahan, pandangannya memburam dan perlahan meredup.

***
Leora membuka matanya perlahan. Ia terkejut melihat kaki dan tangannya diikat pada sebuah bangku. Ditambah begitu banyak luka memar di sekujur tubuh Leora. Beruntung, Leora tidak bisa merasakan sakit. Jika ia bisa merasakan, jelas nyeri dan pedih menyelimuti dirinya.

Leora menatap ke arah darah yang menggenang di bawah kakinya itu. Senyum justru terpancar dari bibir Leora. "Bodoh. Percuma orang ini menyakiti gue, toh rasa sakit enggak ada sepersenpun."

"Lagipula, gue emang mau meninggal. Jadi kalo gue meninggal sekarang, justru gue makasih sama orang yang udah bunuh gue."

Leora menatap ke sekeliling ruangan mirip gudang itu. Ia mengingat hal yang terjadi sebelum ia terperangkap di ruangan ini. Iya, dia hendak menuruni anak tangga tapi ada sebuah tangan yang membekapnya.

Leora lagi-lagi tersenyum. Jelas ini ulah para penggemar Damian, mereka tidak terima karena Leora digandeng Damian di depan umum. Kalau saja tidak ada lakban hitam yang menutup mulutnya itu, jelas ia sudah tertawa kencang.

"Penggemar yang gila. Apa mereka tidak tahu betapa muaknya gue dengan sikap Damian?"

Jejak kaki terdengar jelas di telinga Leora. Leora dapat merasakan jantungnya berdetak kencang, ia tidak sabar menampilkan sandiwaranya lagi. Leora berusaha melepaskan diri dari ikatan itu dan sesekali berusaha berteriak. Iya, itu hanya sebagian dari sandiwaranya.

Mudah saja sebenarnya bagi Leora untuk lepas dari ikatannya itu. Tapi, Leora ingin orang yang mengikatnya itu menyesal nanti karena telah mengikatnya.

Iya, mengikat orang yang diperhatikan oleh seorang Damian. Apa orang tersebut tidak berpikir kalau Damian bisa saja menolong Leora? Dan orang itu akan langsung dibenci Damian.

Leora tertawa dalam hatinya. Leora mengeluarkan air matanya, yang bohongan itu. Tepat seperti dugaan Leora, seorang siswi berseragam sama seperti dirinya mendatangi Leora dengan memakai masker hitam.

Siswi itu mendekati Leora sambil membawa tongkat baseball yang berwarna merah.

"Some day my prince will come..." Siswi itu bernyanyi pelan. Namun nada yang ia nyanyikan begitu mencekam. Leora hanya tersenyum senang menyadari siswi itu akan menyakitinya, alunan melodi yang dinyanyikan oleh siswi itu terdengar merdu di telinga Leora.

Kalopsia✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang