Satu

15.5K 471 13
                                    

Jakarta, 2008

Seorang wanita tua tengah duduk terdiam di sebuah ruangan kecil.

Ia mengamati hampir setiap ujung ruangan tersebut dan kemudian terfokus pada sebuah gambar besar dengan figura megah yang melindunginya.

Ckleek....

Seorang pria paruh baya berbadan bongsor masuk ke ruangan tersebut dan duduk berhadapan dengan wanita tua.

"Jadi ini adalah sisa tabungan pak Ridwan dan didalam nya juga sudah saya sertakan uang yang ibu pinjam kepada bank kami dan seperti perjanjian yang ibu sepakati, pengembalian maksimal 2 tahun" ucap Pria berbadan Bongsor.

Wanita tua itu mengambil amplop yang diberikan si badan bongsor, dan kemudian menundukkan kepalanya.

"Terimakasih, saya permisi dulu" ucapnya.

Wanita tua kemudian meninggalkan duduknya dan pergi meninggalkan pria bongsor tersebut sendiri.

Sambil membawa payung serta tas yang ia jinjing, beberapa orang menatap nya, mengikuti arah kemana ia berjalan, mungkin bagi sebagian orang payung dan tas adalah ciri khas nya.

Wanita tua itu kemudian keluar dari gedung megah itu dan berjalan menghampiri bis yang tengah parkir untuk menarik beberapa penumpang.

Perjalanan saat itu lumayan lancar karena memang saat itu kondisi jalanan sangat sepi dan bis juga tidak terlalu ramai penumpang.

Bis tersebut kemudian berhenti di sebuah persimpangan, wanita tua tersebut kemudian melanjutkan perjalanan nya dengan jalan kaki, mengarah ke sebuah jalanan yang sepi.

Mulai dari areal hutan cemara hingga lahan kosong yang ditutup oleh pagar wanita tua itu terus berjalan mengikuti jalan yang ada.

Dan kemudian sampailah ia ke sebuah rumah bercat putih yang lumayan megah.

Wanita tua kemudian meletakkan payung dan sepatunya, kemudian barulah ia masuk ke dalam rumah tersebut.

Rumah bercat putih, dengan halaman luas membuat orang berpikir, itu adalah rumah orang kaya, itu adalah rumah si pengusaha, itu rumah istri pemilik tambang emas, namun rumah itu adalah satu-satunya warisan yang harus ia jaga untuk anak asuh nya serta almarhum Suaminya.

Bu Fatma namanya, setiap hari ia harus mengurus panti asuhan milik nya agar tetap dalam kondisi hangat layaknya keluarga, dibantu beberapa rekan nya seperti Bu Andin yang tak lain adalah Menantu nya serta Pak Badri tukang kebun, supir serta sahabat Bu Fatma sedari dulu.

Panti asuhan Asih adalah panti asuhan milik Bu Fatma, walaupun ia mengatakan bahwa panti asuhan itu milik semua orang, namun tetap saja bagaimanapun gedung panti asuhan yang ia gunakan adalah rumah nya dulu.

Setelah masuk ke dalam Rumah, bu Fatma bergegas menuju halaman belakang, tempat dimana ia biasa berkumpul dengan karyawan panti lain nya.

Ia membuka pintu perlahan, disambut dengan tatapan mata milik pak Badri dan Bu Andin yang terus mengikuti  gerak-gerik Bu Fatma.

"Bagaimana bu?" Tanya Bu Andin,

Bu Fatma menoleh ke arahnya, disusul dengan tatapan Pak Badri.

"Sesuai apa yang kamu katakan Andin" ucap bu Fatma.

"Ahh! Harus ny aku tidak berharap banyak" ketus Bu Andin kesal,

"Hussh! Tidak baik bercakap seperti itu, lagipula tabungan bapak masih ada dan juga ibu meminjam sejumlah uang kepada--"

"Ibu meminjam uang ke lintah darat itu?" potong Bu Andin,

"Jaga omongan mu, mereka itu Bank bukan perampok" balas bu Fatma,

Tanah TeluhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang