Sembilan

4.7K 197 6
                                    

Tubuh Shania melemas, perlahan Shania mencabut pisau yang ia tancapkan di matanya.

Dan setelah itu Shania ambruk, dengan sergap bu Fatma langsung berlari menghampiri Shania yang jatuh pingsan.

"Shania bangun Shania! Shania!" Teriak Bu Fatma,

Bu Fatma mulai menitikkan air matanya, tubuh Shania sangat pucat dan lemas.

"Shania! Bangun Shania! Shania!" Teriak bu Fatma sambil menggoncang-goncangkan tubuh Shania.

"Shania! Hiksss... SHANIA BANGUN!" bu Fatma kembali berteriak,

Namun Shania tidak merespon, bu Fatma mencoba memegang urat nadi Shania, dan mendengarkan detak jantungnya.

"Hikss.... Shania jangan tinggalkan ibu Shania, Shania.... SHANIA!!!!" Bu Fatma histeris,

Dan setelah itu pak Badri, Bu Andin dan lain nya menghampiri Shania dan bu Fatma.

Semuanya menangis, sambil memeluk bu Fatma dan menggucangkan-guncangkan pelan tubuh Shania.

Semuanya menjadi kelam, setelah canda tawa yang baru saja mereka lakukan, kini atmosfer panti asuhan kembali kelam.

Kematian telah mengisi suasana malam itu, tak disangka Shania tewas dengan cara yang aneh dan tragis.

Bu Fatma memeluk Shania dengan sangat erat, dan tangisan dimatanya.

Dia benar-benar kehilangan Shania, semuanya-bukan hanya bu Fatma, semuanya telah kehilangan Shania.

Shania, tewas malam itu setelah ia menancapkan pisau ke matanya dan menggorok lehernya sendiri.

***

Orang-orang berkumpul di rumah pak Badri, tak sedikit dari mereka membawa sedikit uang atau barang lain sebagai ucapan bela sungkawa.

Jasad Shania di kafani menggunakan kain hitam, yah di desa ini ada salah satu tradisi yang sedikit mengerikan.

Orang-orang yang mati di desa ini harus dikafani dengan kain hitam pekat, katanya supaya kekuatan dan ingatan buruk tentang dunia cepat terlupakan.

Setelah proses merawat Jenazah Shania, Shania segera di bawa ke pemakaman menggunakan Keranda.

Di desa ini jarang ada mayoritas muslim, bahkan keranda desanya saja bukan keranda yang biasa dipakai orang muslim pada umumnya, melainkan seperti peti mati dan tulisan aksara jawa di sekitar kotak tersebut.

Shania dibawa ke areal pemakaman dengan nyanyian dan senandung jawa yang sedikit menyeramkan, apalagi diucapkan dengan serentak dan nada yang sedikit lirih membuat suasana saat itu terasa begitu kelam.

Setelah itu, sesampainya mereka di perkuburan jasad Shania segera dikeluarkan dari peti mati.

Orang-orang langsung menguburkan jasad Shania, diiringi dengan senandung jawa yang menyeramkan.

Jenazah Shania mulai dikubur, isak tangis masih terlihat di mata bu Fatma, ia tak menyangka Shania bisa mati seperti itu.

Saat sesi pemakaman Shania, pak Badri pergi meninggalkan orang-orang disana.

Ia pergi kembali ke desa, dan kemudian berlari menuju satu rumah.

Rumah sederhana dengan kayu sebagai temboknya.

Tttokkk.... ttokk... ttokk...

Pak Badri mengetuk pintu rumah tersebut keras-keras.

"Permisi, mbah... mbah Darmijo!" Seru pak Badri,

Tttokk... ttokk... ttokk...

Ketuk pak Badri sekali lagi,

"Mbah! Mbah Darmijo! Mbah...!!!" Panggil pak Badri dengan nada meninggi.

Saat pak Badri ingin kembali mengetuk pintu rumah tersebut, seorang pria tua dengan rambut panjang dan sudah memutih muncul dengan tampang yang menyeramkan.

"Ada apa?!" Ucap nya dingin,

Pak Badri sedikit gelagapan ketika bertatap muka dengan pria tersebut karena sedikit takut dengan wajah dingin mbah Darmijo.

"Eee.... a-ada yang ingin s-saya bicarakan" ucap pak Badri terbata-bata,

Mbah Darmijo kemudian menatap pak Badri, dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Masuk!" Ucap mbah Darmijo singkat,

Pak Badri kemudian masuk ke dalam rumah mbah Darmijo, diiringi dengan pintu yang ditutup oleh mbah Darmijo.

"Duduk!" Seru mbah Darmijo,

"I-inggih mbah" balas pak Badri dengan mengangguk-ngangguk kan kepala.

Pak Badri kemudian duduk di sebuah kursi anyaman bambu dan mbah Darmijo duduk berhadapan dengan pak Badri.

"Ada apa? Hmm... tumben orang berilmu seperti kamu datang ke tempat saya" tanya mbah Darmijo,

Pak Badri kemudian memajukan posisi duduknya dan kemudian menatap wajah mbah Darmijo dengan wajah serius.

"Dirumah saya sepertinya ada yang menganggu mbah" ucap pak Badri,

Mbah Darmijo sontak memperhatikan pak Badri dengan fokus kali ini.

"Kemarin, 2 hari yang lalu salah satu anak panti asuhan saya mengeluarkan ular dari mulutnya" terang pak Badri,

"Kemudian kemarin, ada juga salah satu anak panti saya namanya Shania mati karena menggorok leher nya dan lengan nya dan kemudian menusukkan pisau ke matanya sendiri" lanjut pak Badri,

Mbah Darmijo masih menatap pak Badri, sepertinya ia tahu kalau pak Badri akan terus menjelaskan tentang apa yang terjadi dirumah nya, maka dari itu Mbah Darmijo tidak berbicara.

"Saya bingung mbah, dan dirumah saya kemarin pagi juga ada bangkai ular dan Shania mengeluarkan ribuan kelabang dari dalam tubuhnya--" ucap pak Badri,

"Apa yang sedang terjadi di rumah saya itu bukan teluh kan mbah?" Tanya pak Badri,

Seketika mbah Darmijo memelototkan matanya, ia segera bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan pak Badri.

"Mbah! Mbah! Tolong saya mbah!" Seru pak Badri,

Namun Mbah Darmijo tetap pergi kedalam rumah nya dan tidak keluar walaupun pak Badri memanggilnya.

Pak Badri terpaksa pergi dari rumah mbah Darmijo dan memilih kembali ke rumahnya.

Nampaknya Pak Badri sekarang mengerti bahwa apa yang terjadi dirumahnya bukanlah kejadian biasa namun ada dalang yang tengah melakonkan aksinya.

Dan ia harus mencari dalang itu sekarang, yah... demi panti asuhan.

Pak Badri bergegas kembali ke panti supaya anak-anak dan yang lain nya tidak bingung mencarinya.

***

"Matilah engkau mati! Dan hiduplah di neraka yang telah menantimu!"

***

Tanah TeluhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang