Empat

6.5K 267 4
                                    

Anak-anak panti memasukkan semua barang-barang mereka ke dalam bagasi mobil, dan kemudian bergegas masuk ke dalam mobil.

Semua anak tidak terlalu riang saat masuk ke mobil, sesekali 1 atau 2 anak menoleh ke arah rumah mereka yang sudah terkunci dan diberi tanda dengan bacaan "Rumah ini Disita".

Bu Fatma memutuskan untuk duduk di bangku mobil paling belakang, katanya ia ingin sendiri.

Mobil pun berjalan, pak Badri selaku supir membawa mereka ke rumah orang tuanya yang sekarang berubah menjadi rumah miliknya.

"Jauh nggak rumah nya?" tanya si kecil Sandi,

"Masih jauh sayang, kamu duduk saja dulu" ucap pak Badri,

Sandi kemudian duduk di sebelah Sania.

"Ngapain sih nanya-nanya terus nanti juga bakal sampe kok!" Ketus Sania kesal,

"Kan Sandi cuman nanya kak" ucap Sandi,

"Udah duduk diem sini, gausah nanya-nanya nanti juga kalo sampe dikasih tau!" Balas Sania kesal,

"Kenapa si kak Sania galak banget?!" tanya Sandi dengan nada meninggi,

"Kakak itu kesel sama kamu tiap hari nanya-nanya mulu" jawab Sania,

"Heeeish! Kalian ini ribut terus, Sania! Kamu ini bagaimana sih? Sandi kan masih kecil harus nya kamu kasih tahu bukan malah dimarahi" ucap April berusaha menengahi,

"Yah, Habisnya dia nanya-nanya terus sampe capek dengernya" balas Sania,

"Kenapa sih kamu ini bandel banget? Pake ngelawan kalo dibilangin" tegas April,

"Sudah sudah! Kalian ini gak cape apa berantem terus?" Sela bu Andin,

Sania dan April seketika terdiam, dan kemudian menjauh, sementara anak-anak yang lain hanya menatap mereka berdua saja tanpa memberikan komentar.

Pak Badri menyunggingkan senyum, mendengar keriuhan di dalam Van yang membuat nya senang.

Pak Badri kemudian membetulkan posisi cermin di atasnya dan mengarahkan nya ke arah Bu Fatma.

Terlihat Bu Fatma yang menatap ke arah jendela dengan wajah nya yang murung, sebelum nya ia tidak pernah begini tapi karena kejadian tersebut, bu Fatma jadi orang yang pemurung.

Van terus berjalan melewati jalanan yang terkadang ramai dan kadang juga sepi.

Hingga setelah menempuh hampir 1 jam perjalanan mereka sampai di sebuah batu yang bertuliskan "Desa Getih Ireng" atau dalam bahasa Indonesia berarti Desa Darah Hitam, dengan adanya tanda tersebut menandakan bahwa mereka sudah sampai di desa yang pak Badri maksud.

Van berjalan pelan dan saat itu juga, beberapa warga desa menatap Van tersebut dengan pandangan yang mencurigai dan juga ada sesuatu yang unik dari desa tersebut, semua pintu di desa tersebut berwarna merah.

Pak Badri terus saja fokus menyetir sementara Anak-anak Panti sedikit grogi dengan pandangan orang-orang desa yang aneh dan tak sedikit juga anak-anak Panti menatap rumah-rumah orang desa yang pintunya berwarna merah.

Kemudian Van melewati jalan yang agak turun dan disanalah mereka semua bisa melihat rumah megah namun memiliki Style yang sederhana, dengan model basement yang unik, pintu rumah tersebut berada di atap sedangkan ruangan lain nya berada di bawah tanah.

Pak Badri memakirkan mobil terlebih dahulu, kemudian barulah anak-anak Panti turun dari mobil.

Mereka berjalan menuju rumah dan mereka sedikit heran dengan rumah pak Badri, kenapa pintunya tidak berwarna merah seperti rumah yang lain.

Kemudian seorang wanita membuka pintu rumah, wanita dengan paras cantik nan manis.

Anak-anak panti kemudian terhenti melihat wanita tersebut di ambang pintu sambil tersenyum ke arah mereka.

"Halo! Nama aku Asmara kalian pasti anak Panti tempat bapak ku bekerja" ucap nya,

"Namanya Asmara, itu anak Bapak, ayo silahkan masuk!" Sambung pak Badri,

Anak-anak kemudian masuk kedalam rumah pak Badri sambil membawa barang-barang milik mereka.

Saat mereka masuk, suasana sunyi dan menyejukkan menyambut mereka, maklum rumah pak Badri dikelilingi pohon cemara, atau bisa dibilang rumah pak Badri berada di tengah-tengah hutan pohon pinus.

Suasana rumah Pak Badri sangat klasik, furniture rumah yang klasik, foto-foto lama yang masih berwarna hitam putih, serta radio usang dan benda-benda antik lain nya turut menghiasi isi rumah pak Badri.

"Gausah kaget kalian, ini semua adalah koleksi Asmara bukan koleksi saya" ucap pak Badri tiba-tiba,

Asmara yang mendengarnya hanya tersenyum sambil menunduk, sedikit malu agaknya mendengar ucapan pak Badri.

"Memang kenapa kak Asmara suka mengoleksi benda-benda kuno?" Tanya Arzi,

"Karena benda-benda kuno menurut kakak itu banyak kenangan nya, tanpa adanya mereka dunia ini kosong tanpa sejarah" ucap Asmara,

Arzi hanya mengangguk, dia seperti mengerti walau dari raut mukanya sudah terlihat bahwa ia tidak mengerti apa yang Asmara katakan, maklum usia nya masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang dikatakan Asmara.

"Ya sudah kalau begitu, kita bagi kamar saja? Untuk Dimas, Andi, dan Reza kalian bisa gunakan kamar bawah--"

"Masih ada ruang lagi dibawah?" Potong Reza secara tiba-tiba,

Semuanya diam, termasuk pak Badri, Reza hanya menatap pak Badri bingung, dan Dimas menyenggol lengan Reza sebagai tanda bahwa apa yang ia lakukan itu salah.

"Eee... silahkan-silahkan kalian bisa ke kamar kalian, untuk April, Shania, dan Riri bisa di sebelah sini di sebelah kamar kak Asmara, dan untuk Arzi, Sandi, dan Kiki--" ucap pak Badri menggantung,

"Kamar kalian jadi satu di depan kamar bu Andin dan juga bu Fatma" sambung pak Badri,

Arzi, Sandi, dan Kiki kemudian berlari menuju kamar mereka sambil bersorak kegirangan, dan juga bu Andin mengikuti mereka setelah mengangguk dan tersenyum kepada Asmara dan pak Badri.

"Oh iya Fatma, ini Asmara" ucap pak Badri,

Asmara tersenyum ke arah bu Fatma, dan Bu Fatma membalas tatapan nya dengan sunggingan senyum.

"Sudah besar ya, sejak Almarhum ibumu meninggal" ucap bu Fatma,

Asmara yang awalnya menyunggingkan senyum, seketika berubah menunjukkan muka masam nya dan kemudian pergi.

Bu Fatma terkejut, dan pak Badri menatap bu Fatma dan berlari mengejar Asmara.

Asmara berlari dan duduk di sebuah ayunan, di depan rumahnya, sambil menutup mulutnya dan menitikkan air mata, pak Badri megejarnya dan kemudian duduk di sebelah Asmara sambil memeluk Asmara.

Bu Fatma mendekat ke arah jendela supaya bisa melihat mereka lebih jelas, ia sedikit merasa bersalah, sebenarnya ia tahu kalau Asmara masih mengalami trauma masa lalu akan kematian ibunya, tapi sungguh dalam hati bu Fatma ia lupa akan hal itu.

***

"Neraka saja benci dengan orang yang mengakhiri hidupnya dengan tragis apalagi Tuhan"

***

Tanah TeluhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang