09

52.5K 5.8K 1.6K
                                    

Menghirup udara malam. Park Jihye menyesap kopi pahitnya di dalam kafe sembari menatap pada pemain biola di depan pintu masuk.

Usai pertengkarannya dengan Jungkook, Jihye meninggalkan rumah dengan tatapan kebingungan dari sang mama yang tengah menyiram tanaman di halaman.

Terhitung sudah tiga jam wanita itu berada di dalam cafe dengan secangkir kopi pahit dan sepotong kue nutella. Beruntung karena ia menyimpan beberapa uang di dalam laci dasbor mobilnya.

Ia tidak membawa ponsel karena benda pipih itu berada di dalam tas selempangnya yang ia letakkan di atas ranjang.

Jihye melirik arloji di telapak tangannya. Jarum pendek telah menunjuk antara angkat delapan dan tujuh.

Memijat pelipis, wanita Park itu lekas berdiri dan membawa cup kopinya keluar kafe.

Mengeluarkan uang logam, lalu memasukkan ke dalam kaleng di samping pemain biola tersebut.

“Tolong ingat wajahku. Jika aku ke sini lagi, mainkan My Heart Will Go on untukku.”

Jihye meneguk kopinya lagi, lalu menjauhkan cup tersebut dari mulutnya manakala manik kembarnya melihat presensi seseorang yang sangat ia kenal.

Dengan langkah buru-buru sambil membuang cup kopinya ke dalam tong sampah, Jihye menghampiri orang itu yang sedang kesusahan berjalan.

“Hei, hei—astaga, Yu Minjae ... kau baik-baik saja?”

Jihye dengan sigap meletakkan lengan wanita itu ke atas bahunya. “Kak Jihye ...”

Jihye menoleh sejenak. “Kau mabuk, Minjae,” katanya sambil membantu Minjae duduk di dalam mobilnya. “Aku akan mengantarmu pulang.”

Jihye berlari kecil menuju kursi kemudi, lalu segera masuk dan menutup pintu untuk menancap gas membelah jalanan kota Seoul.

Hening tanpa suara. Jihye sungkan membuka mulut meskipun untuk sekadar bersuara. Pun hidung wanita itu sensitif dengan bau menyengat yang ditimbulkan dari alkohol.

“Maaf ...”

Jihye menoleh, spontan meremas kemudi manakala Minjae menoleh ke arahnya dengan mata berkaca-kaca.

“Jangan mengatakan itu padaku, Minjae-ya.” Jihye menepikan mobil sejenak. “Kau tidak salah, Minjae—tapi aku.”

Tersenyum tipis, Jihye lekas mengambil napas panjang. “Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu dengan selamat,” katanya mengalihkan pembicaraan.

Minjae meraih tangan kanan Jihye yang bertengger di atas kemudi. “Bisa ... antar aku ke apotek?”

Netra Jihye mengerjap. “Kau mabuk. Tidak boleh minum obat, Minjae.”

“Kak Jungkook. Dia tidak pakai pengaman kemarin malam.”

Jihye stagnan. Dadanya seolah dihantam ribuan batu usai mendengar ucapan Minjae sedetik yang lalu.

“M-Minjae ...”

Wanita campuran Hongkong-Korea itu menangis. “Aku takut hamil, Kak.” Lantas menarik tubuh Jihye dan memeluknya erat. “Tolong aku,” bisiknya serak.

Pening melanda kepala Jihye secara tiba-tiba. Usai mengembuskan napas, dengan berat hati Jihye melepas pelukan itu dan menangkup pipi wanita dua puluh dua tahun di hadapannya.

“Masalah itu ... maaf, aku tidak bisa membantumu.” Minjae hendak berbicara, namun Jihye lekas memotong, “Minjae, aku cuma tidak mau terlibat dengan urusanmu dan Jungkook. Itu saja.”

Kemudian memutuskan untuk mengemudikan kembali mobilnya. Manik Jihye menatap lurus, menahan rasa sakit yang terbenam di hatinya.

“Di mana rumahmu?” tanyanya lagi tanpa menoleh. Sialnya, Minjae tidak menjawab. “Di mana rumah—”

Fiance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang