Turun dari dalam mobil sedannya dan menutup pintu garasi. Jihye lekas dihadapkan oleh presensi sang mama yang memeluknya erat. Kedua tangan mama menangkup pipi dan mengusapnya lembut. Tatapan wanita paruh baya itu meredup seolah ingin menunjukkan keresahan yang mendalam.
"Kau ke mana saja? Mama mencemaskanmu," kata mama kemudian menarik Jihye ke dalam pelukan—masih dengan apron yang melapisi tubuh depannya lantaran mama sedang menyiapkan makan siang.
Menepuk punggung mama, Jihye lalu tersenyum. Ada perasaan bersalah lantaran ia harus membohongi sang mama demi merawat Jungkook. "Jiya menginap di rumah Sora, Ma. Tidak apa. Jiya baik-baik saja, kok," jawabnya berusaha meyakinkan sang mama. Jihye melepas pelukan dan tersenyum lebar pada sang mama sementara wanita paruh baya tersebut masih tetap menatap penuh kekhawatiran. "Maaf karena lebih memilih untuk mengabari papa daripada menelepon Mama."
Jihye merangkul bahu sang mama dan berjalan memasuki rumah secara berdampingan. Tak ayal jika mama begitu khawatir padanya sebab Jihye adalah anak semata wayang mereka. Meskipun papa sudah meyakinkan bahwa Jihye baik-baik saja, tapi mama tetap tidak bisa bernapas dengan tenang jika tidak melihat putri cantiknya tersebut.
Jihye melepas jaketnya sebelum berjalan ke arah dapur. "Mau Jiya bantu?"
Mama mendongak untuk menatap sang putri. "Tidak. Kau harus mandi. Bukankah itu piama yang kau pakai kemarin malam?"
Wanita muda Park itu lekas menurunkan pandangan. "A-ah, ya ... Jiya sengaja memakainya lagi karena Sora tidak mau meminjami pakaiannya," akunya kepada sang mama. "Jadi ... mau Jiya bantu atau tidak?"
"Baiklah." Mama menyambut dengan senang. Sementara itu, kini Jihye mulai memotong sayuran yang berada di atas pantri. Dia tidak banyak bicara lantaran sang mama pun lebih memilih diam dan sesekali berbicara sendiri saat beberapa bahan lupa ia siapkan. Namun, ketika Jihye sedang bersenandung kecil sembari memotong bawang bombay menjadi kotak dadu, suara sang mama yang bertanya kepadanya membuat kepalanya menoleh berat. "Mama lihat kau semakin gemuk. Makanmu juga banyak sekali selama dua bulan ini. Biasanya kau akan menangis dan menyuruh Mama untuk memasak makanan rendah kalori. Ada yang salah dengan dirimu?"
Dalam satu menit yang Jihye lakukan hanya terdiam. Pegangan pada pisau kini mengendur, pun udara di dapur seakan berkurang setiap detiknya. Tangannya yang bebas bergerak untuk menyeka keringat di keningnya, lantas mengerjap manakala menyadari sang mama yang terus menatapnya intens.
"Jiya ... ada yang salah?" Telapak tangan mama mengibas di depan wajah Jihye.
"Ya ...? o-oh, tidak," jawabnya. Kepalanya menggeleng, dan Jihye sontak memberi seulas senyum yang ia tekan—membuat sang mama kian menaikkan salah satu alisnya karena merasa ada yang aneh. "Mungkin faktor cuaca, Ma."
Mama mengangguk skeptis. Wanita paruh baya tersebut memundurkan langkah, tapi maniknya senantiasa menatap lurus pada sang anak yang mengulum bibir gusar. "Mama hanya berpikir barangkali kau ... hamil?" kata terakhir sengaja diucapkan dengan nada sedikit kurang percaya. "Mama pernah melihat darah di sepraimu sedangkan kau sudah datang bulan dua minggu sebelumnya. Kalian ..."
"Ma, sudah Jiya bilang bahwa Kak Jungkook memakai pengaman saat itu, 'kan?" Jihye menyahut cepat.
Sang mama memijat pelipis. "Mama tidak menemukan bungkus pengaman atau jejak apa pun yang membuktikan bahwa Jungkook memakai pengaman, Sayang," ucapnya berusaha selembut mungkin agar Jihye tidak merasa tertekan atau tersudutkan.
"Ma ..."
"Katakan. Apa kau hamil?"
Jihye berjalan untuk membasuh tangannya yang kotor, lalu melangkah mendekati sang mama. "Percaya pada Jiya," ujarnya serak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiance ✓
Fanfiction[COMPLETED] "Aku menyerah. Selamat tinggal." Adalah kalimat terakhir yang keluar dari bibir tipis Park Jihye sebelum melangkah meninggalkan Jeon Jungkook yang mematung di ruang kerjanya.