Perasaan bersalah itu belum ia telan sama sekali setelah mengetahui kondisi Jihye yang mendadak sering gusar dan selalu menempel padanya selama papa dan mama ada di luar kota. Jihye duduk di sofa kantornya, sementara itu Jungkook baru saja menyelesaikan diskusinya bersama Go Hara yang bertugas sebagai manager.
"Aku lapar." Jihye langsung merengek saat mengetahui Jungkook tengah berjalan menghampirinya dan duduk di samping wanita hamil itu.
"Kau baru saja makan setengah jam yang lalu, Jiy ..."
Mencebik jengkel, Jihye kemudian menyingkirkan telapak tangan Jungkook dari puncak kepalanya. Pura-pura sebal meskipun wanita Park itu sedikit kesal karena Jungkook terlalu dekat dengan Go Hara selama mendiskusikan masalah pencarian sekretaris baru.
"Kau pikir melihatmu dengan Go Hara tidak membuatku lapar?" Jungkook mengernyit bingung, lalu mendapati air muka masam wanitanya. "Ukh, selain Yu Minjae, rasanya aku ingin memakan Go Hara hidup-hidup. Lalu kau yang terakhir!"
Jungkook tak bisa menahan tawa, apalagi saat bibir Jihye bergerak gemas. Namun, tawanya terhenti manakala Jihye memukul lengannya keras. "Aku tidak bercanda, tahu! Belikan aku makanan yang banyak kalau tidak mau anakmu lahir jadi psikopat karena ibunya telah memakan wanita-wanita penggoda!"
"Baiklah, Tuan Putri." Jungkook merogoh ponselnya dari dalam saku celana dan menghubungi seseorang di kontaknya. "Hallo, Jimin-ah ... belikan makanan enak untuk ibu hamil. Yang banyak—sudahlah, tidak usah banyak bicara. Lakukan atau kupecat?"
"Jahat sekali," celetuk Jihye. Jungkook langsung menoleh sebab merasa tersindir. "Jangan asal memecat asisten seperti Kak Jimin. Dia 'kan orang baik."
"Tidak, ah. Dia bajingan, kok."
"Baik, tahu!"
"Iya, kalau dengan wanita-wanita cantik sepertimu dia memang baik."
Jihye merekahkan senyum, kemudian mencubit gemas lengan Jungkook. "Jadi, aku cantik?" Kedua alisnya bergerak naik turun bersamaan. Jungkook sontak saja mengangguk. "Kalau hamil begini masih cantik tidak?"
"Tidak." Baru hendak mengamuk, Jungkook lekas menahan kedua tangan Jihye agar tidak menyerangnya. "Seksi, Sayang. Kau seksi sekali."
"Berarti tidak cantik?!" tanyanya sedikit tersinggung.
"Cantik 'kan bukan cuma dinilai dari fisik, Jiya ... kau cantik, kok. Cantik sekali—seksi juga, sih. Tapi lebih menang seksinya daripada cantiknya—aw, aw!" Jihye refleks menarik rambutnya yang sudah ditata rapi dari pagi. "Sayang, aku tidak bawa pomade!"
"Aku tidak peduli! Dasar mesum, pria cabul!" Saat Jihye sedang menyalurkan amarahnya ke rambut Jungkook, ponselnya yang ebrada di atas meja kaca itu mendadak berdering. Jihye lantas menjauhkan tangannya dari rambut Jungkook, sementara pria yang ia siksa kini sibuk mengusap kulit kepalanya yang panas karena ulah hormon ibu hamil.
Fokus Jungkook teralihkan manakala ia tidak mendapati Jihye mengangkat sambungan telepon. "Ada apa?" tanyanya. Jihye langsung memamerkan layar ponselnya ke hadapan Jungkook dan melihat nama kontak Taehyung di sana. Sejenak, Jungkook mengembuskan napas sebelum mengambil alih ponsel sang wanita. "Duduk di kursiku dulu," perintahnya.
Setelah Jihye menyingkir dari sofa, Jungkook berdeham dan menekan ikon hijau pada layar. Ia sengaja tidak bersuara dan menunggu Taehyung berbicara lebih dulu agar ia tahu tujuan pria Kim itu menghubungi Jihye.
"Hai, Cantik ... apa kabar? Dua hari ini kita tidak bertemu, aku rindu sekali denganmu. Bagaimana kalau sore ini aku datang lagi ke rumahmu? Menarik, bukan? Tapi jangan cerita pada bajingan itu, ya? Kita akan bergulat panas di atas ranjang kamarmu sambil melihat foto-foto kita yang kau tempelkan di belakang pintu kamarmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiance ✓
Fanfic[COMPLETED] "Aku menyerah. Selamat tinggal." Adalah kalimat terakhir yang keluar dari bibir tipis Park Jihye sebelum melangkah meninggalkan Jeon Jungkook yang mematung di ruang kerjanya.