Tawaran Pekerjaan

2.6K 339 31
                                    

Rose membantu Jisoo turun dari taksi. Mereka pulang ketika langit sore mulai berubah gelap. Jisoo memaksa pulang hari itu juga. Ia enggan lama-lama dipasang selang infus. Tangannya akan terasa gatal dan bengkak. Itu tentu dapat memperburuk kondisi luka bakar di punggung tangan Jisoo.

“Aw! Pelan-pelan, Sayang,” lirih Jisoo ketika Rose mendudukan dirinya di sofa ruang tamu. Gadis itu lalu pergi keluar untuk membayar taksi. Ia kembali lagi ketika Jisoo berusaha mengambil remot teve di meja kaca.

“Aish, kau ini banyak tingkah sekali!” Tangan Rose mengambil remote itu lalu memberikannya pada Jisoo.

Wajah Jisoo berseri-seri bahagia. Dia tersenyum lebar hingga deretan gigi putihnya terlihat menawan. “Gomawooo, Mawarku ....”

Mata Rose berputar searah jarum jam. Ia berdecak seraya berkacak pinggang. Kadang, Rose merasa jengah jika kekasihnya sudah menampilkan wajah konyol seperti itu. “Kau kenapa nekat keluar dari rumah sakit? Lukamu belum sembuh total. Kau bahkan baru lima jam berada di sana, Jisoo-ya.”

“Jadi, kau mau aku lama-lama berada di sana bersama gadis itu?” tanya Jisoo sembari menumpukan dagu pada remot teve. Tatapannya sungguh polos. Dia memandang Rose dengan satu alis terangkat.

“Aish, bukan begitu. Kan ada aku yang menemanimu.”

“Tapi, kau tidak akan terus-terusan menemaniku, bukan? Kau harus pulang untuk mandi dan mengambil pakaian. Itu artinya kau akan meninggalkanku sendiri bersama gadis tadi di ruangan sepi.”

“Tidak. Aku tidak akan pulang. Aku ingin terus menemanimu di sana sampai sembuh.”

Sudut bibir Jisoo terangkat ke atas. Pandangannya kini berubah menghangat. “Jinjayo?” Rose mengangguk mantap. Jisoo terkekeh geli melihatnya. Senyum tadi kemudian berubah menjadi seringai menyebalkan. “Lalu bagaimana jika kau lapar dan ingin buang air? Kau pasti keluar dari ruang ICU dan meninggalkanku bersama gadis itu, Rosie.”

“Aish, kau sungguh menyebalkan, Jisoo-ya!” Rose mendengkus kasar kemudian memilih duduk di sebelah Jisoo. Kekasihnya itu hanya tertawa sembari mulai menyalakan teve.

“Lagi pula biaya rumah sakit itu mahal, Rosie.”

“Huh? Kau masih bisa menganggapnya mahal ketika semua biaya pengobatanmu dibayar oleh agen bus itu?” Mata Rose terbelalak tidak percaya. Jisoo hanya mengangkat bahu tak peduli. Ia sudah sepenuhnya membelakangi Rose. Larut dalam serial kartun favoritnya di layar besar itu. Ninja Hatori.

Embusan napas Rose terdengar panjang. Suara rintik hujan kembali memenuhi setiap sudut ruangan. Perlahan semakin menderas dan memunculkan harum petrichor menenangkan. Musim penghujan di ujung tahun memang tak bisa dihindari. Selalu membawa luka tersendiri bagi Rose. Gadis itu menatap Jisoo yang masih setia membelakanginya. Dia lantas melingkarkan tangan dan bersandar pada punggung sang kekasih.

“Jangan naik bus lagi.”

Jisoo tersenyum seraya mengusap pelan lengan Rose yang melingkari perutnya. “Lalu, aku harus naik apa? Helikopter? Atau piring terbang?” Kekehan Jisoo terdengar nyaring. Ia berusaha menghadirkan tawa di obrolan monoton tersebut.

“Naik taksi saja. Aku takut hal ini terulang lagi.”

Jisoo kembali tersenyum sembari memutar tubuh ke belakang. Lelaki itu sedikit meringis karena luka di lengannya terasa nyeri. Pelukan Rose sontak terlepas. Dia menegakkan badan dan tertunduk menatap jemari yang saling ditautkan satu sama lain. Jisoo mengerti apa yang dirasakan gadisnya. Jari-jari Jisoo segera mengusap lembut kepala Rose lantas memberi dekapan hangat. Satu kecupan mendarat di pucuk kepala gadis berpipi tembam itu.

LOVESICKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang