Sebuah Pertanyaan

1.3K 199 32
                                    

Jisoo mendengkus kasar. Sudah satu setengah kilometer dia berjalan. Mendorong motor Seulgi yang tiba-tiba tak bisa dinyalakan. Sialnya, Jisoo melakukan semua itu sendirian. Seulgi sudah pulang lebih dulu tadi. Meninggalkan Jisoo di pinggir jalan dengan keringat bercucuran.

“Ini ... sungguh ... melelahkan!” seru Jisoo setelah menstandar motor. Ia duduk di teras rumah sembari mengibaskan tangan. “Aigoo ... rasanya aku ingin pingsan sekarang!” Badan Jisoo ambruk ke lantai. Mulutnya megap-megap mengambil napas. Kulit wajahnya bahkan memerah dan terasa panas.

“Aku ... aku ingin air ... astagaaa! Apa tidak ada yang mau memberiku minum?!” Jisoo berteriak frustrasi. Kembali duduk sembari mengusap dahi. “Seulgi bodoh! Apa kau tidak mau ke mari untuk memberiku minum, hah?!” Kini ia berseru kencang pada rumah di ujung jalan. Rumah bercat gelap yang masih tertutup rapat.

“Aish! Dia tidak akan mendengarnya.” Jisoo berujar lagi. Kali ini dia berusaha berdiri. Kakinya mulai terasa nyeri. Ia harus mengerahkan tenaga ekstra untuk mencapai motor Seulgi.

“Lihat saja, aku tidak akan membiarkan Rosie memberinya sarapan lagi!” Decakan kasar terdengar ketika Jisoo berusaha menaikkan standar. Ia akhirnya menendang standar tersebut karena terlanjur kesal. “Motor sialan! Kau sama saja seperti Seulgi. Sama-sama merepotkan.”

Tepat ketika Jisoo akan mendorong motor itu lagi, Seulgi datang dari arah berlawanan. Tangan kirinya membawa kantong transparan tanpa isi. Ia berjalan lambat sembari meminum banana milk dengan tatapan kosong. Amarah Jisoo seketika memuncak.

“Ya! Kau—”

Wae? Kau mau marah?” Seulgi bertanya dengan wajah polos. Gadis itu menarik napas dalam lantas melempar botol banana milk ke tong sampah. “Silakan marahi aku sepuasnya. Aku memang selalu salah dan akan terus seperti itu.”

Alis Jisoo terangkat sebelah. Tidak mengerti dengan ucapan gadis di depannya. “Berhenti memasang wajah menyedihkan seperti itu. Sudah cukup hidupmu saja yang mengenaskan. Wajahmu jangan.”

“Ya! Kau benar-benar menyebalkan, Jisoo-ya!” Seulgi menarik paksa setang motor satunya. Ia diam beberapa detik lantas memajukan bibir. “Kau tidak akan tahu rasanya ditolak membeli ramen oleh kasir minimarket karena sudah malam.”

Mwo?”

“Aku sudah bilang akan membeli semua ramen yang ada di sana, tapi kasir menyebalkan itu tetap menolak.” Raut wajah Seulgi berubah sedih. Gadis itu mengembuskan napas pasrah seraya berancang-ancang mendorong sepeda motor.

Bola mata Jisoo berputar searah jarum jam. Kepalanya menggeleng pelan ketika Seulgi mulai mendramatisir keadaan. “Kau bahkan baru makan empat porsi galbi tiga jam yang lalu, Seul.”

“Kau tidak mengerti, Jisoo-ya!” sergah Seulgi dengan lirikan tajam. “Aku harus menyimpan banyak karbohidrat untuk menonton film horor nanti malam. Jika aku tidak makan ramen, aku akan kehabisan tenaga dan pingsan. Siapa yang akan menolongku nanti, hm? Siapa?”

Dahi Jisoo mengernyit tidak paham. Benar-benar bingung dengan pemikiran Seulgi yang berlebihan. “Aku harus membawamu ke psikiater besok. Kau benar-benar gila jika sedang datang bulan.” Ia berjalan gontai menuju teras. Tak memedulikan rengekan Seulgi yang semakin keras. “Berhenti bersikap seperti anak kecil!”

Kajja belikan aku makanan ....” Suara Seulgi berubah mendayu. Itu kontan membuat bulu kuduk Jisoo berdiri. Dia berusaha tetap mengabaikan Seulgi dengan menyibukkan diri. Jisoo sedikit meringis jijik ketika membuka sepatu. Tadi kakinya tidak sengaja menginjak genangan air. Membuat sepatunya basah dan kotor. Rose pasti akan marah jika tahu hal itu.

LOVESICKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang