Sepi. Ruangan bernuansa putih itu hanya dihiasi secercah cahaya dari lampu kecil di atas meja. Jam dinding sudah sedari tadi menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Bahkan jarum panjangnya kini tengah bergelayut manja di angka sembilan. Lima belas menit lagi hari akan berganti. Senyum miris tercetak samar di wajah Jennie. Gadis itu mendesah pelan sembari mengamati kalender kecil di dekat komputer. Banyak coretan berwarna dengan bentuk bulat melingkari angka duapuluh tujuh di sana. Itu adalah tanggal bersejarah untuknya. Hari ulang tahun Limario sekaligus hari di mana mereka resmi menjadi sepasang kekasih.
Jennie mengusap wajah gusar. Menarik napas dalam seraya memejamkan mata sebentar. Netra tajamnya lantas terarah pada foto polaroid yang sengaja dia pasang di sisi kanan atas monitor komputer. Itu salah satu foto romantis yang pernah Jennie ambil ketika liburan bersama Limario tahun lalu. Rasa sesak tanpa permisi mulai mengerubungi hati Jennie. Gadis itu mengulum bibir sembari menarik paksa foto tersebut. Ia mendongak menahan air mata setelah membuang foto itu ke tong sampah.
“Maafkan aku ...,” ujarnya setelah menarik napas dalam-dalam. Gadis itu kemudian mengambil ponsel. Mencari nomor kontak Limario dengan mata mulai berkaca-kaca. Jemari lentik Jennie terhenti ketika menekan kontak lelaki itu. Tangannya sedikit gemetar. “Kajja, Jennie-ya. Kau harus kuat. Kau bisa melakukan ini.”
Setelah puas menguatkan diri Jennie mulai menghubungi Limario. Tiga menit berlalu, namun belum ada tanda jika lelaki itu akan mengangkat sambungannya. Napas Jennie berembus pelan. Tak ada jawaban berarti dari seberang. Gadis itu memejamkan mata sembari memijit kening. Kembali menghubungi Limario setelah terdiam beberapa saat.
“Nde?”
Tubuh Jennie sontak menegang ketika mendengar suara itu. Ia menelan saliva seraya mengerjap pelan. Jantungnya kini berdetak tak karuan. “Y-yoboseyo.”
“Wae?”
Napas Jennie kembali berembus panjang untuk ke sekian kali. Dia menegapkan badan sembari membasahi bibir. Tangannya mengepal ringan. Gadis itu berusaha bersikap tenang walau perasannya terlampau gusar. “Besok. Aku ingin bertemu denganmu besok.”
“Kita bertemu lusa. Kau sudah menyetujuinya.”
Diam. Empat menit terlewat dan tak ada yang berniat kembali memulai obrolan. Jennie menggigit bibir dalam. Netranya perlahan terpejam. Hanya deru halus napas Limario yang terdengar dari seberang. Itu membuat Jennie mendesah pasrah.
“Jika ....” Ucapan Jennie terhenti. Kelopak matanya kembali terbuka. Pandangan gadis itu terlihat begitu kosong. Ia menelan saliva sekali untuk membasahi tenggorokkan. “Jika kau ingin mengakhiri semuanya aku ingin kau lakukan itu besok.”
Perkataan Jennie sontak membuat Limario terkejut. Lelaki itu berdeham pelan. Mengusap wajah dengan satu tangan lantas menegakkan badan. Ia berusaha memperbaiki posisi duduk sebelum kembali bersuara.
“Jen—”
“Setidaknya aku bisa mendapat satu kenangan indah pada hari di mana kita berpisah,” ujar Jennie sebelum Limario sempat menyelesaikan ucapan. Bibirnya samar-samar mengukir sebuah senyuman.
“Bagaimana jika bukan kenangan indah yang aku berikan besok?” Tatapan Limario terarah ke depan. Cahaya matanya perlahan meredup.
“Gwaenchana, itu bukan masalah.”
“Jendeuk-ah—”
“Aniya, jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi.”
Keheningan kembali datang. Membuat mereka berdua tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Setitik air mata jatuh dari netra Jennie tak lama kemudian. Gadis itu terisak dalam diam dan Limario menyadarinya. Ia memejamkan mata erat sembari mengacak rambut kasar. Perasannya kini berubah runyam. “Kalau begitu kau harus datang bersama Jisoo besok.”
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVESICK
General Fiction[Kim Jisoo x Jennie Kim x Park Chaeyoung] "Don't trust love. It will tears us apart." *** Kim Jisoo, seorang dokter bedah jantung jenius keturunan Korea Utara, harus rela diberi perlakukan tidak adil di negaranya sendiri. Dia mendapat perlakuan disk...