Jennie mendesis. Luka di bibirnya terasa amat perih. Gadis itu menelan ludah sebelum kembali menempelkan kapas berisi cairan antiseptik ke bibir. Erangan kecil sontak menggema karena rasa pedih kembali datang. Jennie mendesah pelan. Matanya terpejam lantas membuang napas panjang.
"Eomma ... kenapa ini sakit sekali?" Dahi gadis itu ditempelkan pada ujung meja. Ia menyerah. Merasa lelah akan semua hal yang diterimanya. "Aku ingin menyusul Eomma saja jika sudah begini." Gadis itu mengubah posisi kepala. Meletakkan lengan di atas meja sebagai bantal. Matanya terarah pada bagian luar kaca. Salju tengah turun saat ini.
"Shumon," ujar Jennie lagi. Dia mendengkus sembari menegapkan badan. Mengambil kaleng minuman di sisi lain meja lantas meminumnya dalam sekali tenggak. "Hah, aku lebih senang memanggilmu yeobo daripada Shumon. Panggilan aneh macam apa itu?"
Hik ... Jennie cegukan. Wajahnya mulai memerah. Gadis itu mengambil kaleng lain dari atas meja. Dia membuka tutup kaleng tersebut lalu sedikit menyesap isinya. Jennie mengernyit. Itu merupakan kali ketiga Jennie meminum minuman serupa hari ini. "Kenapa teh ini rasanya pahit sekali?" Walau begitu dia tetap menelan habis sisa air di dalam kaleng. Jennie tersenyum senang. Rasa perih yang ada di bibirnya sudah hilang entah ke mana. Menyisakan perasaan bebas yang membuat Jennie merasa tenang. Gadis itu cegukan sekali lagi. Dia mulai meracau tak tentu arah.
"Jisoo-ya ... saranghaeyo," lirih Jennie begitu pelan. Gadis itu menatap kursi kosong di seberang dengan padangan sayu. Ia tersenyum lebar ketika bayangan Jisoo tiba-tiba mengisi kekosongan itu. Jemari Jennie bergerak ke depan. Berusaha mengusap wajah Jisoo sebelum akhirnya memilih menjatuhkan kepala ke meja. "Tapi kau tidak nyata! Kau sedang tidur berdua dengan gadis menyebalkan itu! Kau ... tidak ada di sini."
Ponsel Jennie berdering tidak lama setelahnya. Ia kembali mendengkus seraya melihat siapa yang menelepon. "Yoboseyooo?" sapa Jennie ketika sambungan terhubung. Suara gadis itu begitu manja. Dia menelepon masih dengan posisi yang sama. Wajah menghadap kaca sembari kepala ditidurkan di atas meja.
"Kau di mana, Jennie-ssi?"
"Huh, aku?" Jennie cegukan lagi. Ia menggaruk dahi sembari sedikit mendongak. Menatap seisi kantin yang tidak begitu ramai. "Aku di kantin, hik."
"Ya, apa kau mabuk?"
Kekehan Jennie terdengar. Gadis itu kembali menidurkan kepala di atas meja. "Aku mabuk cinta, Soojin-ah. Karena Jisoo."
Soojin yang mendengar itu sontak mengerutkan kening. "Jennie-ssi, kau tidak lupa 'kan dengan pemeriksaan rutin hari ini? Kau akan membuat masalah jika mabuk."
"Ya! Aku tidak mabuk, Soojin-ah!" seru Jennie dengan nada tinggi. Beruntung kantin lumayan sepi hari ini, jadi hanya segelintir orang yang merasa terganggu dengan suara gadis itu. "Aku hanya minum tiga kaleng teh dengan rasa aneh, Soojin-ah. Aku tidak mabuk. Sungguh. Appa akan marah jika aku melakukan itu. Ia tidak ragu memukulku dengan sapu dan ikat pinggang. Itu menyakitkan!"
"Aish, kau benar-benar mabuk, dr. Jen!"
Jennie tertawa ringan. "Aku mabuk karena ketampanan Jisoo. Dia terlalu tampan hingga aku mabuk kepayang."
"Hah, aku harus melakukan apa jika sudah begini? Pemeriksaan seb-"
"Dah, Soojin! Huh, kau berisik sekali." Jennie berujar sembari mematikan sambungan telepon. Gadis itu menjulurkan lidah ketika menatap layar ponsel. Ia lantas memejamkan mata setelah melempar ponsel itu ke sisi lain meja. Jennie cegukan sekali lagi. Kepalanya mulai terasa pusing. "Jisoo-ya, bogoshipo ...."
Selang beberapa menit kemudian Soojin datang dengan terburu-buru. Dokter muda itu mengedarkan pandangan setelah sampai di bagian depan kantin. Napasnya patah-patah berembus kasar karena merasa lelah. Bulir keringat bahkan banyak menghiasi dahi lapang gadis itu. "Ya! Jennie-ssi!" seru Soojin setelah melihat Jennie tengah tertidur di meja dekat jendela kantin. Suara melengkingnya terdengar begitu nyaring hingga membuat beberapa pengunjung kantin menutup telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVESICK
Ficción General[Kim Jisoo x Jennie Kim x Park Chaeyoung] "Don't trust love. It will tears us apart." *** Kim Jisoo, seorang dokter bedah jantung jenius keturunan Korea Utara, harus rela diberi perlakukan tidak adil di negaranya sendiri. Dia mendapat perlakuan disk...