Wangi petrichor pekat menguar memenuhi setiap sudut pekuburan begitu air hujan jatuh menghantam tanah. Hawa dingin nan menusuk berhasil dirasakan setiap orang yang datang. Mereka semua terdiam haru melihat peti mati itu perlahan diturunkan ke liang lahad.
Tangis Jennie seketika pecah saat tanah merah berhasil menutupi peti mati tersebut. Gadis itu meraung menahan pedih di pelukan Presdir Kim. Air matanya menetes. Merembes hingga membuat jas hitam sang ayah berubah warna karena basah.
Suasana pemakaman hari ini lebih dari kata kelabu. Hujan dan tangis menyedihkan menggelegar memenuhi langit gelap. Jennie tidak bisa menahan isakannya. Wajah gadis itu merah padam. Presdir Kim sudah berulang kali menyuruhnya pulang. Proses pemakaman sudah selesai, tapi gadis itu tidak mau disuruh pergi.
“Jendeuk-ah, ayo pulang.”
Jennie menggeleng. Jemarinya mencengkeram erat bagian belakang jas Presdir Kim. Ia bersikeras tinggal walau sanak saudara berusaha membawanya pulang.
“Jennie tidak mau pulang. Jennie mau di sini bersama eomma.”
“Kau harus pulang, Jendeuk-ah. Sebentar lagi malam,” ujar seorang wanita paruh baya sembari mengusap lembut lengan Jennie. Gadis itu justru mengeratkan pelukan. Ia tetap teguh pendirian.
“Jennie ingin menemani eomma.”
“Jendeuk-ah ....” Kali ini Presdir Kim yang bersuara. Pria tua itu mengembuskan napas pasrah. Matanya terlihat memerah. “Pulang bersama Appa sekarang.”
“Aniya, Appa. Jennie tidak mau!”
“Jangan membantah ucapan Appa. Kita pulang sekarang.”
Ketegasan dari suara Presdir Kim membuat Jennie terdiam. Kedua pundaknya masih naik-turun menahan isak. Gadis itu perlahan melepas cengkeraman di jas sang ayah. Tubuhnya sedikit oleng ke belakang. Jika tidak ada orang yang menahan, ia pasti akan jatuh menghantam tanah.
“Bawa dia pulang,” ujar Presdir Kim begitu dingin. Pria tua itu berjalan duluan menuju mobil. Jennie masih tetap menangis. Ia dituntun pelan-pelan keluar dari pekuburan oleh dua wanita paruh baya. Gadis itu terus menoleh ke belakang. Tangannya terayun kecil. Sungguh berat bagi Jennie pergi meninggalkan sang ibu sendirian di sana.
Mobil rombongan keluarga Kim keluar dari area pemakaman beberapa menit kemudian. Cahaya petir terlihat terang di langit petang. Bulir hujan semakin turun deras. Menghujani tubuh Jisoo di balik pohon rindang yang terletak simetris dengan kuburan Nyonya Kim.
Lelaki itu melangkah gontai menghampiri kuburan sang ibu. Tubuhnya sontak terduduk lemas. Air mata Jisoo perlahan keluar mengaliri pipi bersama dengan rintik hujan yang membasahi wajah. Dia terisak sekali. Tangannya menggenggam tanah merah kuburan sembari tersenyum pahit.
“Eomma ... ini Jisoo.”
Petir muncul sekali lagi. Kepala lelaki itu menggeleng lantas mendongak ke atas. Jisoo mulai menangis. Ia tersedu hebat. Lelaki itu meraung memanggil nama sang ibu. Dadanya terasa sesak. Kepala Jisoo kembali terarah ke bawah setelah puas dihantam rintik hujan. Kedua tangannya menggenggam erat tanah kuburan. Jisoo menutup mata. Membiarkan kristal bening jatuh mengalir bersama air hujan.
Sore itu menjadi waktu terburuk di hidupnya. Ia kehilangan satu keluarga lagi. Semesta sungguh tidak adil. Kemarin, Jisoo berhasil menyelamatkan nyawa banyak orang. Namun sekarang, ia justru kehilangan orang yang disayang. Dia dan Jennie sama-sama menangis di waktu petang. Waktu yang akan terus memberi sesak berkepanjangan.
***
Rose berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Perasannya sedang tak karuan. Hari sudah malam, tetapi sang kekasih belum juga pulang. Rose benar-benar kalap. Banyak kemungkinan buruk bersarang di kepalanya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVESICK
General Fiction[Kim Jisoo x Jennie Kim x Park Chaeyoung] "Don't trust love. It will tears us apart." *** Kim Jisoo, seorang dokter bedah jantung jenius keturunan Korea Utara, harus rela diberi perlakukan tidak adil di negaranya sendiri. Dia mendapat perlakuan disk...