Empat Belas: Satu Pekan

1.9K 204 38
                                    

SLASHH!!

Rantai itu menghantam jeruji besi. Percikan api timbul dari benturan antar logam itu. Matanya jelas-jelas menangkap kalor dan pijarannya. Namun partikel listrik itu teramat kecil baginya. Masih belum! Kemampuannya masih tak cukup mumpuni. Ia harus berusaha lebih keras lagi.

Kedua tangannya mengepal. Kulitnya sampai aus, kuku dan buku-buku jemarinya menghitam mengingat ia bukan saja menggenggam, tapi mengcengkeram rantai itu kuat-kuat. Tangannya panas, juga kebas. Kalau saja lemparan itu tak dibumbui amarah, mungkin jeruji yang mengukungnya tak sampai meleot karena hantaman-hantaman itu. Tapi memang itulah tujuannya. Ia harus membuat jeruji besi itu patah, atau bahkan hancur jadi kepingan-kepingan kecil sekalian.

Napasnya memburu. Kalau saja sepasang mata tak mengamatinya dari ruangan puluhan juta buku itu, mungkin ia sudah meluapkan emosinya pada pilar-pilar besi itu dan menyelesaikan serangan puncaknya. Tapi ia masih menghormati seseorang yang kini tengah mengamatinya. Ia tahu ayahnya tengah berkacak pinggang memperhatikan latihannya kali ini.

"Nice, perkembanganmu baik, tapi juga agak berlebihan. Pikiranmu tidak sedang kacau, kan?" ucap ayahnya.

Jaehyun, laki-laki muda yang tengah berlatih itu menggeleng, namun sayangnya sang ayah tak bisa percaya semudah itu.

"Kamu tidak sedang berlatih untuk membunuh, kan?" tanya ayahnya lagi.

Jaehyun memalingkan muka dari ayahnya. Sial, cepat atau lambat ia pasti akan ketahuan.

Ayahnya kini melangkah mendekat. Lalu mengamati putranya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Putranya nampak basah mandi keringat. Kaos yang dikenakannya kuyup. Keringat sudah seperti air yang disiramkan ke tubuhnya. Dan rantai-rantai yang keluar dari telapak tangan anak bungsunya itu sudah menghitam. Sebagian patah, dan sebagian lagi lecet-lecet karena benturan.

Dilihatnya Jaehyun mematung dan mengatur napas. Kini pandangan Yunho – Ayah Jaehyun – mengarah pada ransel putranya yang tak jauh diletakkan di atas meja tempat asah tanding vampire slayer itu. Jaehyun sendiri sudah mengira ayahnya sudah mencium gelagatnya sejak lama. Dan kini ayahnya sudah membuka ranselnya, kemudian mengambil sesuatu dari dalamnya, sebuah buku tua hasil tulisan tangan berjudul How to Defeat Vampire, yang ternyata ditulis oleh Yunho sendiri. Jaehyun membiarkan Yunho mengambilnya. Toh ia sendiri sudah tak berminat menghentikan ayahnya itu.

Ayahnya hanya menatapnya penuh arti, oh, tentu Jaehyun sudah menduganya sebelumnya.

"Kamu membaca ini sudah tau konsekuensinya, kan?"

Jaehyun menarik napas dalam-dalam, lalu menggretakkan giginya. Yunho sendiri jadi bisa melihat putranya menekan gemuruh emosi dalam dadanya.

"Seperti yang Ayah perkirakan," jawab Jaehyun.

Yunho lalu meletakkan kembali buku itu, setengah menunggu putranya mengatakan sesuatu. Ia tahu betul putranya. Jaehyun tidak akan bisa menyembunyikan sesuatu darinya begitu lama. Kediamannya lebih dari cukup untuk mengintimidasi Jaehyun agar buka suara dengan sendirinya.

"Aku pikir sudah waktunya," ucap Jaehyun.

Nah, Yunho memang tau persis seperti apa Jaehyun.

"Meskipun kelak itu melukaimu?" tanya Yunho lagi.

Jaehyun mendengus. Menatap tajam ayahnya. Lalu mengangguk. "Ya."

"Meskipun harus membunuh idealisme vampir di dalam dirimu?"

"Vampir akan selalu menjadi makhluk yang idealis. Ayah tahu betul itu. Kalau bukan karena idealisme vampir, tentu Ayah tidak akan memilih menikahi ibu, tapi memilih wanita dari clan Ayah sendiri," balas Jaehyun.

Amorphous | [Taesoo (Taeyong - Jisoo)]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang