[18+] Daripada takdir, mungkin lebih cocok disebut tumbal.
Jisoo adalah siswa di sekolah model, selama dua tahun di sekolahnya, Jisoo menjadi korban pembullyan Jennie, Lisa dan Rose. Jennie sempat membunuhnya, namun hal itu ternyata hanya manipulas...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jarum jam berdenting nyaring, sedang kedua kelopak matanya terkatup sempurna. Tubuhnya masih terbaring di ruangan putih. Hanya telinganya saja yang siaga menangkap suara langkah kaki seseorang yang berada dalam satu ruangan dengannya, sesekali juga indra pendengarannya itu menangkap getaran sayap serangga malam.
Sejak tiga jam lalu, ia tertidur di ruangan itu. Tidur, ya, anggap saja begitu. Lagipula tak ada yang bisa mendeskripsikan apa yang sebenarnya tengah ia lakukan di sini, kecuali Pak Tua itu – lelaki yang kini tengah sangat sibuk mengecek tube tube berisi larutan sampel uji. Jika ia menghitung, usia Pak Tua berkacamata plus itu mungkin sudah lebih dari 50 tahun. Artinya, tentu sudah selama itu lelaki itu bekerja untuknya semenjak ia menyaksikan hari kelulusannya. Lelaki mortal yang kian berganti jika salah seorang wafat.
"Tidak ada perubahan, sama seperti sebelumnya. Justru data merekalah yang kian hari kian mirip denganmu."
Mata bulat itu terbuka. Lantas menatap wajah penuh keriput itu. "Tak apa. Kalau sudah tiba waktunya pun, biarkan saja semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Tapi, ngomong-ngomong Prof. Lee–"
Lelaki tua itu memandang seksama. Sementara yang ditatap tengah merasai kekuatan di telapak tangannya. Untuk sesaat ia mengeluarkan bias biru dari sana. "Entah mengapa akhir-akhir ini aku merasa takut."
Profesor Lee mentautkan alisnya. Ia pun bisa menangkap seraut gundah dari air muka lelaki yang sudah bersamanya selama puluhan tahun ini.
"Aku tak tahu... apakah kekuatanku kali ini cukup untuk mengalahkan anak itu?"
Hening.
"Menurutmu, apa yang harus aku lakukan untuk memastikan aku akan benar-benar bisa melampauinya? Apa kau tahu caranya?"
"Sejauh ini, tidak pernah kutemukan spesies yang lebih baik dari dirimu, Tuan Jaejoong. Meskipun begitu, apa kau benar-benar mencemaskan keberadaan anak itu?"
Mata bulatnya meneduh. Rasanya ia semakin resah. "Aku hanya... takut jika orang itu lagi-lagi melukai Ibu."
"Apa kau benar-benar khawatir jika luka di masa lalumu akan terbuka kembali untuk kedua kalinya?"
Lelaki muda itu mengangguk. "Tidak ada yang bisa menduga setelah ini selain dirinya sendiri. Jika ia kembali, tentu saja akhir permainan sudah ditentukan, bukan?"
"Lantas apa yang akan kau lakukan setelah ini?"
Kedua orang di ruangan itu terdiam cukup lama. Lelaki bersorot teduh itu masih merasai kekuatannya semakin intens. "Aku pikir... aku akan mati-matian bertahan, dan tentu saja melakukan serangan balik. Ibu berada di pihakku, juga Irene, aku harus melindungi mereka. Satu-satunya orang yang saat ini bisa mengimbangi perhitungan orang itu hanya dirimu, Prof. Jadi, bisakah kau mempercepat risetmu? Aku hanya... ingin membuat peluang dan prosentase kekalahanku menjadi nol."