Chapter 1 || Hari Sibuk

5.6K 708 103
                                    


"Ini garam dan ini gula," tunjuk si pria pada dua wadah berisikan warna yang sama. "Ingat. Jangan tertukar."

Memutar bola mata bosan, Ahrin bersandar pada meja pantry. Kedua tangannya terlipat sementara bibirnya sedikit mendengus saat menjawab, "dan kau sudah mengatakan itu tiga kali. Jika kau berkata sekali lagi, aku akan memberimu hadiah satu piring cantik."

Tersenyum kecil menampakan gigi berderet rapi, Jungkook terlihat kikuk. "Benarkah?"

"Sepenting itu kah kedatangan Kakak keduamu sampai kau begitu repot mempersiapkan ini itu?" Meraih sisir lipat di dalam saku, Ahrin menyisir rambut legam Jungkook penuh perhatian. Merapikan rambut si pria yang ia tebak, lupa di sisir saking banyaknya kegiatan yang harus dipersiapkan pagi ini. Jungkook bahkan bangun lebih pagi dari biasanya, menerima banyak sekali panggilan telepon sebelum tergesa-gesa membersihkan diri dan bersiap seadanya.

Pria itu terlalu sibuk mempersiapkan kehadiran sang kakak yang dijadwalkan pulang hari ini setelah sekian lama bekerja di Australia sebagai salah satu konsultan keuangan ternama di sana. Lima tahun rasanya cukup membuat seluruh keluarga merindukan kehadiran sosok yang selama ini tak pernah Ahrin temui meski dalam foto keluarga Nam sekali pun. Terkadang, Ahrin penasaran akan sosok itu. Sosok yang sekian lama menjadi panutan bagi Jungkook dalam segala hal.

Dan pagi ini, tepat satu minggu setelah pernikahan mereka berlangsung meriah tanpa kehadiran sang kakak, Jungkook membangunkan Ahrin pagi sekali, meminta istrinya untuk membersihkan rumah sementara ia menerima telepon entah dari siapa. Membeli banyak bahan makanan dari supermarket bawah dan meminta Ahrin memasak menu yang tak pernah ia buat sebelumnya, hingga kepala si gadis terasa berputar saat Jungkook memberikan resep bersama panduan tutorial melalui cuplikan video singkat.

"Kau mengerti tidak?" Tanyanya ketika video itu usai.

Ahrin menggeleng lambat, tersenyum tipis sedikit dipaksakan dan Jungkook sontak menghela napas panjang.

"Yasudah. Jangan memasak apa pun. Aku akan membeli makanan dari restoran langganan ibu saja. Aku tidak mau kakakku mati keracunan setelah memakan masakan eksperimen gagalmu yang mengerikan."

Melipat kedua tangan di depan dada, Ahrin memprotes ledekan Jungkook yang sama sekali tak asing lagi di telinganya. "Jangan terlalu hiperbola. Aku tidak berencana memasak rudal yang akan meledakkan perut kakakmu meski aku ingin sekali melakukannya."

Mendapati raut jengkel tercetak jelas pada sang lawan bicara, Jungkook lantas melemparkan raut wajah menyebalkan sembari berkata, "Hohoo... ini masih pagi. Jangan membuatku menjejalkan penisku untuk memberi pelajaran pada mulutmu itu, Sayang. Aku harus segera pergi ke kantor, sungguh."

Hingga Ahrin hendak melemparkan satu set wajan menghantam wajah sialannya.

Tidak ada kecupan mesra, pelukan hangat, apalagi kata-kata manis yang terlempar dari bibir pualam lelaki itu. Sepanjang Ahrin bisa mengingat, Jungkook tidak pernah lagi berkata romantis semenjak ia memutuskan menerima kata cinta yang agaknya diucapkan dengan penuh keterpaksaan. Jungkook selalu seperti itu. Terlalu gengsi memperlihatkan bahwa nyatanya ia memiliki perasaan begitu besar. Terlalu bodoh ketika harus bermain dengan kata-kata manis seakan bibirnya dituang satu liter gasolin setiap kali mengudarakan kata cinta.

Namun, Ahrin menikmati interaksi mereka yang tak seperti pasangan pada umumnya. Gadis itu selalu tahu bahwa Jungkook memiliki caranya sendiri untuk mengungkapkan perasaan yang ia miliki meski seakan tak sudi untuk merangkumnya dalam sebuah kata-kata.  Seperti pagi ini contohnya, saat lelaki itu kalang kabut mencari kaus kaki yang entah Ahrin taruh di mana dan Olaf, kucing gendut berwarna oranye yang dititipkan ibunya dua hari lalu mengencingi lantai, Jungkook terpaksa mengambil lap kemudian mengepel lantai sembari sesekali menggerutu sebal.

"Sialan. Kenapa ibu mertua menamaimu Olaf padahal kau berwarna oranye, gendut dan menyebalkan."

Meski begitu, Jungkook tetap membersihkan lantai kendati ia dikejar-kejar oleh waktu yang semakin menipis.

"Aku rasa nama Olaf terlalu bagus untukmu, bagaimana kalau aku memanggilmu Olif saja?"

Ahrin terkikik dari balik pantry, menenggak susu cokelat hangat buatan suaminya sebelum menjawab, "dia kucing jantan, Jungkook."

"Bokongnya terlalu besar untuk ukuran pejantan," sahutnya asal. Menyambar jas di sandaran sofa setelah menaruh alat pel kembali pada tempatnya, Jungkook berjalan mendekat, menyisakan satu langkah tepat di hadapan si gadis kemudian mendaratkan satu jitakan singkat di dahi sebelum berbalik. "Aku pergi."

Mengusap dahi yang terasa berdenyut, Ahrin mematut diri di depan cermin besar dan mendengus saat mendapati jejak kemerahan samar di wajahnya. Merapikan diri sejenak, memastikan penampilannya cukup baik sebelum pergi menuju butik untuk membeli beberapa baju lalu memesan sarapan di kedai langganan, menghabiskan waktu sementara menunggu Jungkook pulang pada pukul lima sore nanti.

Akan tetapi, tepat sesaat sebelum dirinya memasang sepatu, bel berbunyi lantang. Mau tidak mau, terpaksa Ahrin harus membukakan pintu bagi tamu yang hendak datang. Memastikan sang tamu dari intercom namun tak terlihat apa pun selain punggung seorang pria dengan setelan kemeja berwarna biru langit membelakangi kamera.

Mengerenyitkan dahi sejenak, memastikan jika orang tersebut bukan seseorang yang bisa mengancam keselamatannya. Maka pada detik yang sama, tepat setelah pintu terbuka, rahang si gadis seakan terjatuh menghantam dasar lantai. Kepalanya tiba-tiba terasa pening dan kakinya mulai kehilangan kendali untuk tetap berdiri tegak memacu kewarasannya tetap utuh di sana.

Lelaki itu... tidak mungkin...

"Song Ahrin?"

Suaranya masih terdengar sama. Berat. Serak. Tak ada yang berubah dengan lelaki di sana selain rahangnya semakin tajam membingkai wajah tampan yang sialnya sempat ia rindukan setengah mati.

"Taehyung?"

Perkataan refleks keluar meski sejujurnya tak perlu ia utarakan. Ahrin tidak perlu memastikan, sebab jelas lelaki itu adalah Taehyungnya yang sempat menghilang. Lelaki yang datang dari masalalu yang cukup kelam. Lelaki yang sama, yang pernah memporak porandakan hidupnya bertahun-tahun silam.

Memastikan nomor di permukaan pintu, Taehyung terlihat ragu saat bertanya, "apartemen ini milikmu?"

"Pentingkah bagimu?" jawab si gadis sarkas sembari berancang-ancang kembali hendak menutup pintu.

"Tentu saja, karena seingatku apartemen ini milik kerabatku."

"Kerabatmu?" ujar si gadis memastikan.

Mengangguk singkat, "Ya, Nam Jungkook, adikku. Kau mengenalnya?"

Dan pada detik selanjutnya, Ahrin merasa ingin menjatuhkan diri ke dasar sungai. Menenggelamkan seluruh tubuhnya dan tidak akan kembali lagi ke permukaan.

Bagaimana bisa semesta mempermainkan hidupnya semudah ini? Bagaimana bisa Tuhan memperburuk skenario kehidupan dengan mendatangkan lelaki ini kembali sebagai kakak ipar yang tak pernah ia harapkan? Ahrin benci, mengapa segalanya mendadak menjadi begitu rumit saat kebahagiaan telah menantinya di ujung jalan.[]

My Illegal Wife✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang