22

182 26 1
                                    

Di lain sisi,

Winwin memandang punggung Yerim yang berlari menjauh darinya. Hatinya berseru untuk mengejar gadis itu, tapi entah mengapa kaki Winwin seolah memberat barang selangkah pun. Amarah dan cemburu yang berkecamuk di hatinya rupanya mampu mengalahkan sisi manusiawi Winwin.

Meski benaknya sedikit khawatir menatap Yerim yang tampak kecewa, sisi egoisnya mengatakan untuk tetap bersikukuh bahwa dirinya juga tersakiti. Untuk yang kedua kalinya, Winwin melihat Yerim menangis karenanya. Dan kedua kalinya pula, Winwin membiarkan gadis itu menangis begitu saja.

Sudah kesekian kalinya laki-laki bertubuh jangkung itu menghembuskan napas panjang. Kedua kakinya itu bergerak mendorong tanah dan berayun seiring dengan gerakan ayunan yang kini ditumpanginya.

Dua puluh menit merenung disana, rupanya tangisan Yerim masih saja terbayang di benaknya, saling bertubrukan dengan memori indahnya bersama gadis itu. Satu sisi ia merasa bersalah, di sisi lain ia merasa marah.

Memutuskan untuk beranjak, kini Winwin melangkah menuju mobilnya untuk pulang. Pulang di sebuah bangunan megah yang umumnya disebut rumah, namun terasa bagaikan neraka bagi Winwin. Tiap langkah kaki memasuki rumah itu terasa menyakitkan bagi Winwin, rasa sakit dan trauma yang selalu ia tutupi nampaknya tak bisa tertahan untuk saat ini.

Winwin merasa kacau, laki-laki itu terduduk di belakang pintu kamarnya. Matanya buram menahan bendungan air mata yang terus mendorong keluar. Memorinya berputar mengingat Yerim yang mungkin setelah ini tidak akan mau bertemu lagi dengannya. Padahal gadis itu merupakan kekuatannya, semangatnya, dan segalanya yang selama ini mampu menguatkan Winwin. Air mata itu lolos begitu saja seolah baru tersadar dan menyesali perbuatannya.

Ia butuh Yerim, tapi hatinya mencintai Taeyong. Semua terasa begitu sulit baginya. Isakan tangis sudah tak mampu ia tahan lagi, dadanya begitu sesak dan napasnya sudah tidak teratur.

Oh tidak, Winwin tidak mau sakit lagi.

Berusaha menetralkan diri, Winwin bergerak merangkak menuju laci nakas. Namun baru satu tangan yang hendak merangkak menopang tubuhnya, sebuah tali tambang seolah terikat melingkari kedua sisi kepala dan dahi Winwin hingga menciptakan rasa sakit luar biasa yang tidak bisa ia tahan. Perutnya seketika itu mual hendak memuntahkan seluruh isi perutnya saat itu juga. Tubuh Winwin merosot, posisinya saat ini meringkuk di lantai dengan kedua kaki yang ditekuk sebatas dadanya. Pandangan matanya memburam, kemudian abu-abu sebelum akhirnya benar-benar menghitam.
.
.
.
.
.
.
.
"Mama, ini teyur mata syapi wat Mama." Balita berumur tiga tahun itu menyodorkan sepiring plastik mainan berisi daun dan kerikil-kerikil kecil ditengahnya.

Wanita yang dipanggil Mama itu tersenyum menerima uluran sang anak, "Mata sapinya yang mana dek?"

"Ini lho, ini..." ujar anak itu sambil menekan-nekan kerikil diatas daun, "Yah rusak."

Wanita bersurai panjang kecoklatan itu tertawa melihat tingkah si kecilnya. Tangan kanannya yang semula memegang piring mainan kini beralih mengelus surai lembut putri kecilnya itu. Mengagumi sejenak malaikat kecil yang kini hadir sebagai penyempurna hidupnya.

"Ma, kalu abis makan teyus ngapain?"

Tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, wanita itu tersenyum kembali memandang putrinya. "Kalau sudah masak, makan, habis itu cuci piring sayang."

Anak itu mengangguk paham.

Suasana siang itu cerah tapi tidak terlalu panas. Angin yang bersepoi juga terasa sejuk, menambah suasana asri nan nyaman mengisi rumah itu. Wanita itu bersandar sejenak di dinding, matanya menatap sekeliling area kolam renang di rumahnya.

MISTAKEN | Winwin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang