Bagian 15

4K 186 16
                                    


Pov Karin

Setelah ucapan Hanum di acara reuni kemarin kini aku menjadi kepikiran, aku mencoba mengingat pertemuan demi pertemuan dengan Akbar.

Aku hanya bisa mengingat dia datang saat aku mendapat musibah dulu, sebelum itu aku tak dapat mengingat sosok Akbar lagi.

Ah, mungkin Hanum bercanda dan jika memang Hanum berkata jujur, itu hanya cinta monyet semasa SMA, bukan untuk saat ini. Batinku.

Kenapa aku harus memikirkan dia sih? Toh yang penting dia tidak mengatakan apapun padaku, dan selama ini aku dekat dengannya hanya sebatas pengacara dan klien saja, tidak lebih.

Hari ini adalah hari terakhirku di Semarang, aku ingin memanfaatkan waktuku bersama Ibu Mirna, karena aku tak tau lagi kapan aku akan kembali lagi kesini.

Sejak pagi aku membantu Bu Mirna merawat segala keperluan anak panti, teringat dalam benakku, aku juga pernah seperti anak-anak ini, hidup di panti tanpa keluarga kandung.

Tanpa terasa sudah pukul 11 siang, aku bersiap untuk kembali ke Surabaya.

Tak lama mobil Vano sudah terparkir dihalaman, dan setelah berpamitan dengan Ibu Mirna dan penghuni panti, aku dan Vino pergi ke Surabaya

****

Kesibukan di kafe mulai aku jalani lagi. Namun sudah hampir satu minggu Vano juga Bela belum ada yang menampakkan batang hidungnya.

Vano setelah mengantarku kembali pergi keluar kota. Justru Akbar lah yang setiap sore sepulang kerja mampir ke kafe.

"Kamu ada libur kapan, Rin?" tanya Akbar sambil meminum pesanannya tadi.

"Seharusnya besok sih, tapi Pak Vano dan Bela belum ada yang datang."

"Mereka sibuk sekali, sejak dulu memang kafe ini jarang mereka datangi, apalagi Vano, dia bisa dihitung hanya sekali dalam sebulan."

Aku hanya mengangguk, baru tau aku jika Vano sejarang itu mengunjungi kafenya, padahal kemarin-kemarin hampir setiap hari kesini.

"Kalau Bela sih sering, tapi sekarang dia kan sedang ada sedikit urusan di Jakarta."

"Oh iya Mas, kalau pak Vano asli Semarang, berarti Bela juga orang Semarang kan? apa dia juga sekolah di tempat kita?" tanyaku.

"Nggaklah, mereka kan bukan kandung, mereka itu saudara tiri, anak bawaan masing-masing."

"Lho, iya kah? Baru tau aku."

"Bela kan asli Jakarta, mangkanya dia bolak balik kesana."

"Tapi hebatnya, meski saudara tiri tapi mereka rukun," ucapku.

"Gimana gak rukun, aslinya mereka itu pacaran, tapi mereka gak tau kalau yang berjodoh justru orang tua mereka, bukan mereka."

"Apa??" Aku terkejut mendengar ucapan Akbar.

"Gak usah kaget gitu lah Rin, namanya takdir, bisa apa kita ini?"

"Iya juga sih Mas, aku sendiri gak menyangka jika takdirku seburuk ini." Aku menunduk, mengingat semua kepedihan yang aku alami.

Akbar memegang daguku, lalu mengangkat daguku, mata kami saling menatap, "Kamu harus kuat Rin, bersabarlah, kelak akan kamu temukan kebahagian lagi."

Ada kesungguhan dalam ucapan Akbar, dia memang begitu mengerti aku, "terima kasih, Mas," ucapku sambil memberikan sebuah senyuman kecil untuknya.

****

Sore ini tampak mendung, namun aku ingi membeli sesuatu di minimarket. Aku berpamitan dengan Nisa saat akan keluar agar ia tak mencariku.

SANG NARAPIDANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang