Part 23

4.1K 186 12
                                    

Seorang laki-laki parlente mencari Karin, ia menemui Karin di kafe, ditemani Vano dan Bela, Karin menemui laki-laki asing itu.

"Silahkan dibaca," ucap laki-laki parlente itu yang ternyata bernama Albert, ia seorang pengacara.

Karin menerima sebuah map dan membaca isinya, disitu tertulis jika Karin mendapat sebuah vila dan beberapa tanah di daerah Semarang. Tertulis juga sebuah surat untuk Karin.

Nak Karin,
Mungkin jika kamu membaca surat ini, kami sudah tiada lagi di dunia ini.
Sebelumnya, maafkan lah kami orang-orang pendosa yang entah termaafkan olehNya atau tidak.
Kami adalah orang yang menaruhmu di panti asuhan Bu Mirna,
Seharusnya kamu bukan dirawat Bu Mirna, namun oleh kami sendiri, mengingat kesalahan yang telah kami perbuat pada keluargamu.
Namun, kami tak pernah berani untuk merawatmu, kami terlalu pengecut untuk melaakukannya.
Kami hanya sanggup membantu biaya hidupmu, memastikan engkau tak kurang apapun meskipun kami tau jika kamu adalah anak yang mandiri.
Nak Karin,
Kami memohon maaf sebesar-besarnya padamu,
Kamilah yang menjadikanmu yatim sejak kecil, kami benar-benar tak sengaja menabrak orang tuamu di malam naas itu.
Sungguh semuanya diluar kendali.
Kami akui jika kami begitu pengecut karena tak mengakui perbuatan kami di pihak berwajib. Kami benar-benar takut, nak.

Sejak hari itu kami selalu dihantui rasa bersalah, kami menjadi tak tenang menjalani hidup.
Tolong maafkanlah kami yang banyak dosa ini.
Kami memohon maaf padamu, kami sangat memahami jika harta tidaklah bisa menggantikan kebahagianmu, namun kami mohon terimalah segala yang telah kami titipkan padamu. Kami mohon terimalah.

Semoga  selalu berbahagia.

Mahendra Wijaya dan Wulandari

Air mata luruh begitu saja di pipi Karin, ia tak menyangka jika ia membaca surat dari orang yang menabrak orang tuanya.

"Mahendra wijaya?" Karin mengulang membaca pembuat surat itu, ia mencoba mengingat nama itu, sepertinya tidak asing.

"Iya, Pak Mahendra wijaya, beliau adalah ayah dari Pak Akbar Wijaya," ucap Albert tenang, namun berbeda dengan Karin, ia terkejut dengan nama Akbar.

"Apa? Akbar?" Karin menutup mulutnya dengan tangannya sendiri, bagaikan palu menggodam dadanya,ia tak menyangka jika laki-laki yang begitu baik padanya selama ini adalah anak dari orang yang menabrak orang tuanya.

Bela refleks memegang bahu Karin, ia berusaha menenangkan Karin.

"Ya, Pak Akbar adalah putra satu-satunya, ia juga baru mengetahui baru-baru ini, karena memang surat wasiat ini belum sempat di laporkan ke notaris, Pak Akbar menemukan surat ini sekitar tiga tahun yang lalu."

"Dimana Mas Akbar?" tanya Karin.

"Dia merasa bersalah karena sikap orang tuanya, sehingga ia memutuskan pergi dan menyerahkan semuanya padamu nyonya," jawab Albert.

"Aaa... Apa?"

"Oh iya, ini dari Pak Akbar," Sebuah kotak diberikan Albert pada Karin.

"Akbar, kenapa dia nggak bilang dulu sih sebelum pergi? Jelasin dulu apa gimana gitu, mendadak pergi gini aja," gumam Vano kesal.

"Sepertinya Pak Akbar sangat terpukul, tapi saya sendiri tidak tau dengan jelas apa masalahnya yang lain, namun yang pasti ia sepertinya tak akan kembali lagi karena semua asetnya beberapa dijual, beberapa di hibahkan ke panti asuhan Bu Mirna," ucap Albert.

Seketika Vano meraih ponselnya di saku, ia berusaha menghubungi Akbar, "percuma Pak, semua nomornya sudah tidak aktif, dia memang benar-benar ingin memulai hidup yang baru."

SANG NARAPIDANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang