Pov Akbar.Mencintai tak harus memiliki, asalkan orang yang ku cintai bahagia, itu adalah prinsipku. Sebagai mana perasaanku selama ini pada Karin, perempuan istimewa dalam hidupku.
Mencintainya bukanlah perkara sulit buatku, karena sejak pertama kali berjumpa di masa putih abu-abu di angkatan kedua masa SMA, aku berjumpa dengannya, pertemuan tak sengaja saat aku membantu MOS siswa baru, saat itulah aku berjumpa dengan Karin.
Wajahnya memang biasa saja saat itu, prestasi juga standart, tapi entahlah kenapa hati ini seketika bertaut pada gadis yatim itu. Setiap hari kuperhatikan dia dalam diam, aku bukanlah tipikal pria yang mudah mengungkapkan perasaaanku. Apalagi saat itu kulihat dia adalah siswa yang pendiam dan tak banyak bergaul diluar jam pelajaran sekolah. Sehingga aku tak punya alasan untuk berbicara ataupun sekedar menyapanya.
Belum juga aku menyatakan perasaanku pada Karin, ditahun ketiga SMA aku di pondahkan orang tuaku ke Surabaya karena Ayah dipindahkan kantornya.
Aku hanya sempat memberikan sebuah mawar di lokernya, itu pun belum ku ketahui apakah dia sempat menerimanya atau tidak. Intinya, sejak saat itu aku haruse meninggalkan sekolah juga cinta pertamaku di Semarang,
Hari-hari kulalui tanpa kehadiran Karin lagi hingga aku melanjutkan kuliahku di Surabaya, kupikit cinta ini akan mati jika lama tak jua bertemu, aku pun tak berjuang untuk mencarinya karena aku pikir lambat laun aku akan menemukan cinta yang baru. Namun, entahlah hingga aku selesai kuliah dan menjadi pengacara aku tak juga jatuh cinta pada gadis lain selain Karin.
Hingga di hari itu, aku mengetahui kabar jika Reno temanku semasa kuliah mendapat musibah karena istrinya menjadi terdakwa kasus pembunuhan. Aku bertemu lagi dengan perempuanku di masa lalu, Karin!
Dia terlihat sangat dewasa dan cantik meski kali pertama bertemu dengannya setelah hampir satu windu kami tak berjumpa dia dalam keadaan terburuk karena sedang dituduh sebagai pembunuh.
Rasa itu sama, masih tetap sama,namun aku berusaha memendamnya karena dia adalah istri orang. Aku tak mau menghancurkan hubungan suci, apalagi kulihat mereka saling mencintai satu sama lain.
Aku tidak boleh egois, aku kuatkan setiap bertemu dengannya untuk tak menggapai tangannya apalagi mengatakan padanya tentang perasaan ini. Yang kulakukan hanyalah bagaimana caranya agar Karin segera terbebas dari kasusnya, kasus yang aku yakin jika ia tak sengaja melakukannya.
Janjiku masih ku pegang teguh, dan nyatanya aku berhasil membuat vonisnya menjadi satu tahun, namun aku tetap berusaha keras agar ia mendapat remisi agar ia segera bebas. Aku melakukannya atas dasar pekerjaan dan tentu saja ingin senyum terukir kembali di bibirnya.
Namun takdir mulai memperlihatkan kenyataan lain, Reno yang ku kira laki-laki setia ternyata dia ada main dengan wanita penyebab Karin di penjara. Marah, kecewa, kesal menjadi satu, hal ini membuatku ingin segera mengeluarkan Karin tanpa sepengetahuan Reno.
Meski aku tau jika Reno mengkhianati Karin, aku tak serta merta memberi tahu Karin, aku juga tak mengambil kesematan atas masalah ini untuk mengambil hati Karin. Aku gak ingin Karin memandangku dan menyukaiku karena sebatas pelarian. Karena cinta untuk Karin ini benar-benar tulus, aku tak ingin memaksanya menyukaiku.
Setelah Karin bebas, tak butuh waktu lama untuk dia mengetahui kebusukan Reno dan simpanannya, tentu saja Karin marah dan kecewa, dia pergi dari rumah tanpa kutahu kemana.
Lama kucari keberadaan Karin, ingin kuhapus lukanya agar ia tak merasa sendiri, ingin ku katakan padanya jika aku masih ada dan siap membahagiakannya, namun tak kuketahui dimana ia berada.
Hari berganti hari, saat aku mengunjungi kafe Vano kawan SMA ku dulu, tak kuduga aku menemukan bidadariku yang telah hilang, Karin menjadi karyawan Vano dan Bella.
Dunia memang sempit, akhirnya kami yang berasal dari daerah yang sama dapat mudah berbaur lagi. Aku pun ikut andil dalam proses perceraian Karin, bahagia rasanya karena bidadariku segera terlepas dari jeratan Reno yang hanya sanggup menuaikan kepedihan pada Karin. Aku bersiap mendekati Karin, biarlah perlahan, asal dia bisa menerima dan mencintai aku apa adanya. tanpa terpaksa atau hanya pelarian semata.
Nasib baik memang sepertinya berpihak padaku, Karin ingin mengunjungi Panti asuhan di Semarang sekalian menghadiri reuni SMA, saat berangkat memang ia bersama Vano, namun ketika pulang ia bersamaku, sungguh rasanya bahagia sekali bisa menghabiskan waktu bersamanya.
Tentu saja aku berusaha bersikap datar, aku tak ingin ia risih padaku. Biarlah saat ini dia hanya menganggapku sahabat, lambat laun dia akan memahami kesungguhanku, apalagi sepertinya ia mulai mengetahui jika aku sudah menyukainya sejak SMA, tentu saja bukan aku yang memberi tahunya, tapi sahabat-sahabat lamanya.
Waktu seakan ingin kuhentikan saat aku bersama Karin, begitu bahagia hati ini melihat saat ia tersenyum, tertawa, bercerita, hati ini juga selalu merasa sakit saat ia membahas rindunya pada Alena, dalam hati aku berjanji, aku akan mengembalikan Alena padanya, akan kuberikan semua kebahagian padanya.
Namun apalah diriku ini. aku selalu tak sanggup mengutarakan perasaanku ada Karin, padahal banyak moment yang bisa kugunakan untuk mengatakannya. Aku naif dan bodoh. entahlah ada apa dengan diriku ini, kenapa begitu sulit mengatakan apa yang kurasa selama ini padanya.
Hingga suatu hari tibalah hari yang membuatku begitu merasa menyesal dan kecewa, dia yang kucintai bertahun-tahun telah memutuskan menikah dengan sahabatku, Vano!
Kemana saja aku selama ini? Kenapa aku membiarkan banyak waktu dan kesempatan untuk orang lain mengisi hatinya? Bukankah dia yang selama ini yang kuinginkan? Kenapa lagi-lagi menjadi milik orang lain?? Begitu hina dan tak pantasnya kah aku memiliki orang yang kucintai? Tidak!! Ini bukan salah Kari apalagi Vano, hanya aku yang salah. Aku begitu lemah dan pengecut untuk menggapai cintaku.
Apa aku harus menyerah dengan keadaan?
Apakah aku harus menahan perasaanku lagi dan lagi?
Apakah aku harus berdiam diri dan membiarkan dia menjadi milik orang lain?
Dia Karin ku, Karin yang kucintai sejak masa putih abu-abu dulu. Aku tak rela membiarkan dia menjadi milik orang lain. Namun aku bisa apa?"Aku mohon pikirkan lagi," ucapku saat Vano dan Karin yang telah mengatakan padaku tentang rencana pernikahan mereka
"Kenapa sih, bro? Ini keputusan kami berdua, kami ngasih tau gini hanya minta doa aja, bukan pendapat," ucap Vano sinis.
Aku hanya bisa menatap Karin dengan pedih, aku berharap dia bisa membaca isyarat mata dan hatiku, namun sepertinya dia tak tahu dan tak mau tahu.
"Aku ingin bicara sama Karin," ucapku karena ingin Vano tak menjadi orang ketiga dalam pembicaraanku dengan Karin.
"Aku nggak ngizinin, pasti kau akan ngomong yang membuat Karin goyah." Lagi-lagi ucapan sinis Vano tertuju padaku.
"Pak, tolong izinin, aku janji apapun ucapan Mas Akbar, gak akan mempengaruhi rencana kita," ucap Karin menengahi.
Vano tampak kesal, namun ia akhirnya menyerah, "oke jangan lama-lama ya sayang," ucap Vano sambil berlalu.
Seketika hatiku merasa seperti diremas saat Vano memanggil Karin sayang.
"Rin, kenapa tiba-tiba sekali kamu akan menikah dengan Vano?" tanyaku setelah Vano menghilang dari hadapan kami.
"Sudahlah, Mas, ini keputusanku," ucap Karin tak ingin memberi penjelasan padaku.
"Kenapa? Aku tak ingin kamu salah pilih lagi. Rin," Aku menatapnya, berharap menemukan jawaban atas segala pertanyaanku.
"Ini hidupku, tolong jangan ikut campur."
"Sungguh kukira kamu belum bisa melupakan rasa sakitmu pada Reno, namun sekarang kamu justru menghadirkan Vano dalam hidupmu," ucapku kecewa, pedih sekali rasanya hati ini.
"Mas, aku harus pergi," ucap Karin sambil berdiri hendak beranjak meninggalkan aku sendiri.
"Karin, apa kamu sudah yakin jika memang kamu bahagia dan yakin pada Vano. aku akan mendoakan yang terbaik untukmu," ucapku sambil menatapnya penuh kepedihan.
Aku hancur untuk kedua kalinya, cintaku lagi-lagi tak bisa kumiliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG NARAPIDANA
Hayran KurguSeorang perempuan bernama Karin terpaksa menjadi seorang narapidana karena telah membunuh suami dari kerabatnya, Riri. Namun, saat di penjara justru suami Karin berkhianat dengan Riri