62.

7K 317 1
                                    

Sudah hampir dua jam Vanya duduk melamun di depan balkon kamarnya, menatap kosong ke arah langit yang lagi-lagi kembali mendung.

Kini Vanya sudah tak bisa mempertahankan apa yang sedari dulu ia coba pertahankan, kini Vanya sudah lelah, ia sudah ingin menyerah.

Masalah hubungannya bersama Mevan saja belum selesai, dan kini masalah Rega yang ternyata mencintainya itu membuat masalahnya bertambah.

Dan kini Vanya sudah tak bisa untuk kembali meyakini dirinya sendiri jika hubunganya dengan Mevan akan tetap baik-baik saja.

Kini percayanya Mevan sudah bukan padanya lagi, tapi pada orang lain, dirinya sudah benar-benar merasa lelah.

Ia ingin menyerah, ia ingin kembali seperti dulu lagi, persahabatan tanpa melibatkan perasaan.

Dirinya benci menjadi Vanya yang seperti ini, ia ingin kembali menjadi Vanya yang dulu, yang memilik sifat aneh, bukan sifat dewasa seperti ini.

Vanya lebih suka menjadi kekanak-kanakan ketimbang menjadi dewasa seperti ini, sunggu ini tidak menyenangkan.

"Anya!" Vanya menoleh tanpa bersemangat, ia bahkan terlalu malas untuk mengerakan tubuhnya.

"Tolong anterin kue ke rumah Tante Nata yah," pinta Nadin yang hanya di balas anggukan oleh Vanya.

"Cuci muka dulu yah," titah Nadin yang kembali di beri anggukan oleh Vanya.

.
.
.

Vanya memencet bel rumah Mevan, ia tak peduli akan bertemu dengan Mevan atau tidak, toh dari kemarin pun Mevan tak menghubunginya atau menemuinya untuk sekedar menjelaskan atau meminta maaf.

"Tante ini mamah Anya bikin kue, katanya buat Tante," ucap cepat Vanya saat pintu terbuka.

"Mamah gua lagi keluar," suara datar Mevan benar-benar membuat Vanya kembali yakin jika dirinya yang memilih untuk menyerah itu tidak salah, kisahnya sudah harus selesai detik ini juga.

Dan Mevan telah menujukan jika padanya sudah bukan tujuan pria itu lagi, masalah dalam hubungan mereka seolah menujukan jika mereka memang tidak di restui semesta untuk bersama.

"Masuk, ujan," titah Mevan yang membuat Vanya tersadar dari lamunanya.

Vanya menoleh ke belakang, dna benar saja hujan deras turun tanpa ia sadari.

Ke dua kakinya melangkah masuk mengikuti Mevan yang berjalan di hadapannya, sekuat tenaga ia menahan diri agar tidak menangis, ini waktunya untuk mengakhiri apa yang memang harus selesai sejak dulu.

"Taro aja kuenya di meja, terus temui gua di kamar," titah Mevan yang langsung berlalu pergi, meninggalkan Vanya yang langsung mendudukan bokongnya di kursi.

"Apa berpisah adalah akhir dari kisah kita Van? Sedangkan sejak dulu kita sama-sama takut untuk kehilangan, enggan untuk berpisah," gumam Vanya dengan menyeka air matanya yang entah sejak kapan telah menerobos keluar membasahi pipinya.

"Gua masih cinta sama lo Van, bahkan selalu cinta, tapi kenapa gua terlalu lelah buat kembali berjuang? Apa waktu gua buat memeperjuangkan lo udah selesai?" Vanya cepat-cepat mengelap air matanya, menenangkan dirinya agar tidak terlihat jika ia baru saja menangis.

Vanya bangun dari kursi, menghela nafas yang begitu berat, kemudian melangkah pergi menemui Mevan yang telah menunggunya.

.
.
.

𝐕𝐚𝐧𝐕𝐚𝐧.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang