Vanya menatap pantulan dirinya di cermin, menatap dirinya sendiri tanpa berkedip, pikirannya kemana-mana dengan kepingan-kepingan masa lalu yang kembali hadir di pikirannya.
Sekuat tenaga Vanya mencoba menahan diri agar tidak beekedip saat kejadian yang paling membuatnya trauma itu muncul dengan gampanganya, kejadian saat sang papah dengan teganya membuat mamahnya babak belur hanya karna ketauan selingkuh.
Waktu itu umur vanya masih 11 tahun, ia masih tidak tau apa-apa, bahkan saat sang papah sering memarahi mamahnya pun Vanya hanya bisa diam karna tidak tau harus berbuat apa. Dan saat sang papah yang tak pernah bermain tangan tiba-tiba dengan entengnya melayangkan pukulan demi pukulan pada mamahnya.
Saat itu Vanya baru saja pulang sekolah yang akan bermain boneka di kamarnya bersama Mevan, namun adegan kekerasan itu terjadi di depan matanya, adegan di mana papahnya memukul dan bahkan mendorong mamahnya sampai babak belur, di sana Vanya hanya bisa diam dengan raut wajah ketakutan saat melihat mamahnya menangis dengan histeris. Vanya hanya melihat sebentar karna Mevan yang tiba-tiba datang langsung menariknya keluar.
Ah sial Mevan!
Vanya yang seketika tersadar langsung mengusap pipinya yang entah sejak kapan basah, Vanya mengambil ponselnya dan berlari ke luar kamar. Tujuannya hanya satu, Mevan.
"Mah Vanya ke rumah Mevan dulu," teriak Vanya yang masih berlari tanpa berhenti.
"Di luar ujan Anya!" Nadin balas berteriak dengan suara cemas namun Vanya terus aaja berlari.
Tanpa Vanya sadari ia menerobos hujan, berlari menuju rumah Mevan untuk meminta maaf pada pria itu.
Vanya sadar ketakutannya akan trauma di masa lalunya itu bukan salah Mevan, jusru Mevan lah yang selama ini membantunya untuk mematikan rasa trauma itu, ini bukan salah Mevan tapi ia malah menghukum Mevan dengan menjauhi pria itu.
Rasa takut akan trauma harusnya Vanya lawan dengan berani, bukan malah mengizinkan rasa takut itu menguasai dirinya.
"MEVAN ANYA MINTA MAAF!" teriak Vanya tepat di depan gerbang rumah Mevan.
Hujam deras yang membasahi tubuh Vanya sama sekali tidak Vanya perdulikan, Vanya terus saja berteriak dan berharap Mevan keluar dari rumah dan menemuinya.
"MEVAN KELUAR! ANYA MAU NGOMONG SAMA MEVAN!
"MEVAN MAAFIN ANYA, ANYA TAU ANYA SALAH, TOLONG KELUAR ANYA PENGEN KETEMU SAMA MEVAN!"
Vanya terus berteriak, entah suaranya yang kurang keras atau hujan yang begitu deras membuat suara Vanya tidak terdengar.
"Anya cuman mau minta maaf," lirih Vanya sambil mendudukan dirinya di depan pagar.
"Anya sadar harusnya Anya gak boleh ngejauhin Mevan, hikss.... harusnya Anya gak boleh takut sama orang yang udah bantuin Anya ngelawan rasa takut itu, hiks... keluar Mevan.... Anya pengen ketemu sama Mevan Huaaaaa..." Vanya berucap sambil terus menangis, Vanya sudah mulai kedinginan tapi masih belum ada tanda-tanda jika Mevan maupun Nata keluar dari rumah.
"Mevan..." lirih Vanya sambil terus menangis. Vanya takut, Vanya takut jika Mevan marah padanya dan tidak mau menemuinya, Vanya takut ikut.
"Astaga sayang!" suara khawatir Naya membuat Vanya menoleh.
"Tante... huaaaaa Mevan marah sama Anya hiks... hiks.." Vanya semakin terisak di hadapan Naya.
Naya yang melihat Vanya menangis membuatnya semakin menangis. sebenarnya ada apa dengan Vanya? Menagapa Vanya duduk menangis di depan rumahnya sambil menangis? Dan mevan, astaga apa yang telah anaknya itu pada Vanya kesayangannya ini?.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐕𝐚𝐧𝐕𝐚𝐧.
Teen Fiction| T y p o B e r t e b a r a n. | •belum direvisi, mohon maaf kalo banyak kesalahan dalam penulisan• ᴡᴀʀɴɪɴɢ (𝟷𝟽+) ᴄᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ ᴍᴇɴɢᴀɴᴅᴜɴɢ ʙᴀʜᴀsᴀ ᴋᴀsᴀʀ , ᴊɪᴋᴀ ᴋᴜʀᴀɴɢ ɴʏᴀᴍᴀɴ ᴅᴀɴ ᴛɪᴅᴀᴋ sᴜᴋᴀ ᴍᴏʜᴏɴ ᴅɪ ᴛɪɴɢɢᴀʟᴋᴀɴ. ---🌸. Mevan dan Vanya, dua sejoli yang s...