64💫.

23.2K 736 207
                                    

Dua hari Mevan tidak bertemu dengan Vanya, dua hari Vanya selalu memberi alasan untuk menghindarinya, hingga Mevan tak bisa meminta maaf dan mengakui kesalahannya.

Mevan tau Vanya menghindarinya karna kesahalannya pula, Mevan tau jika Vanya pun pasti sangat kecewa karna ulahnya, tapi dirinya benar-benar merasa menyesal.

Bodoh! Harusnya sejak awal ia mempercayai Vanya bukan orang lain! Ini sama saja ia tak memperdulikan Vanya.

Karna ulahnya itu tanpa sadar ia telah membiarkan hubungannya berada di ujung tanduk.

Dirinya memang terlalu percaya dengan ucapan manis Renata hingga tanpa peduli pada Vanya.

Mevan bodoh, ia tak mempercayai kekasihnya sendiri, seolah-olah apa yang Vanya ucapkan padanya itu memang salah. Padahal seharusnya ia sedikit percaya pada Vanya meski mungkin Vanya salah menduga.

Tapi ia bodoh! Ia tolol yang malah membuat Vanya kecewa terhadapnya. Tanpa dirinya sadari ternyata ia telah membuat Vanya berjuang sendiri hingga kekasihnya itu sudah berada di titik lelahnya.

.
.

Dan ini hari ke tiga Mevan mencoba untuk meminta bertemu pada Vanya, meminta Vanya untuk memberinya kesempatan, kesempatan untuk memperbaiki semuanya, meski mungkin kesempatananya itu hanya beberapa persen saja untuk terjadi.

"Anya kenapa?" tanya Mevan, kini dirinya berhasil bertemu dengan Vanya, meski dari awal Vanya enggan untuk menatap padanya.

Mevan mengerti, begitu sangat kecewa Vanya padanya, hingga untuk menatapnya pun Vanya terlihat begitu sangat enggan.

"Anya gapapa," jawab Vanya, dirinya tau apa yang diinginkan oleh pria yang duduk di sampingnya ini, namun ia tak bisa memberikan apa yang Mevan mau.

Vanya sudah lelah, ia sudah benar-benar berada di titik lelahnya, memberi kesempatan pada Mevan begitu sulit untuk ia lakukan, ia terlalu takut untuk kembali di tidak percayai, dirinya trauma dan takut.

"Anya bohong," kata Mevan.

"Anya gak bohong Mevan," balas Vanya, masih enggan menatap Mevan.

"Terus kenapa Anya ngehindar dari Mevan?" lirih Mevan dengan begitu pelan, hatinya terasa begitu sakit karna Vanya masih enggan menatapnya, padahal dirinya berada di sampingnya bukan di hadapannya.

"Emang iya? Kayanya cuman perasaan Mevan doang kali," kata Vanya dengan acuh.

"Anya emang ngehindar dari Mevan."

"Iya Van, Anya ngehindar dari Mevan, untuk cari tau apa yang harus Anya lakuin setelah ini," kali ini Vanya berani menatap Mevan, menatap Mevan yang ternyata sudah mulai berkaca-kaca.

"Tapi pertama-tama Anya pengen kasih tau ke Mevan dulu tentang rasa sakit yang Anya rasain saat Mevan gak percaya sama Anya," Vanya menghela nafas, kembali menatap ke depan guna menghindari sorot mata Mevan yang mulai membuatnya goyah.

"Mevan tau sesakit apa itu? Ah! Rasanya sangat sakit Van, Mevan gak pernah tau rasanya gak di percayai sama sekali di saat posisi kita adalah sebagai kekasih, bukan orang lain."

"Mevan ... dalam hubungan itu di butuhkan kepercayaan agar hubungan tetap baik-baik saja, disini kita memang mencoba saling percaya, tapi bedanya ... Anya percaya ke Mevan sedangkan Mevan percaya ke Renata. Ini kita Van, Anya sama Mevan, bukan Anya, Mevan dan Renata."

Vanya kembali menatap Mevan dengan rasa sesak yang kembali terasa begitu mencekik dirinya, menatap Mevan yang sebentar lagi akan menangis dengan diam.

Vanya tak perduli, ia sudah cukup lelah untuk semuanya, keputusanya sudah final! Sudah tak bisa diubah lagi hanya karna melihat Mevan rapuh seperti ini.

𝐕𝐚𝐧𝐕𝐚𝐧.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang