14. Back To 2009

13.3K 2K 311
                                    

•••

Hyunjin meremas ujung selimut sekuat-kuatnya.

Dia menangis, kemo pertama tidak berjalan dengan baik karena dia menyakiti Hyunjin terus-menerus; membuat lidahnya tidak bisa mencicip rasa, punggungnya sakit, dia juga tidak berhenti merasakan mual yang teramat.

"Tuhan," Hyunjin menyebutnya berulang kali kala menahan sakit.

Tidak ada seorang pun di ruangannya sekarang. Dokter Kang menyuruh Hyunjin untuk tidur, sedang Mama harus mengurus sesuatu di lantai bawah. Papa lebih dulu pulang, dia memiliki banyak kesibukan.

Hyunjin berusaha untuk bangkit, hendak pergi ke kamar mandi karena merasa dia akan memuntahkan sesuatu. Begitu sulit rasanya untuk sekedar berdiri tegap, dia terlampau lemas.

Sampai di kamar mandi, Hyunjin justru terus menangis dan tidak memuntahkan apa-apa. Dia merasa tersiksa, rasanya seperti ada yang mendesak di tenggorokan tapi dia tidak bisa memaksanya untuk keluar.

Tak lama kemudian, Hyunjin terkapar lemas di lantai. Ia bersandar pada dinding, menggenggam erat-erat infusan yang dibawanya.

Orang-orang tahu Hyunjin adalah laki-laki cengeng yang mudah menangis hanya karena menonton drama. Kini? Hidupnya bahkan terasa lebih menyedihkan dari drama-drama yang ditontonnya.

Hyunjin mengepal tangan kanannya, dia ingin berhenti menangis karena dia sudah lelah. Tapi ternyata tidak semudah itu. Tidak tahu kenapa, tangisannya justru lebih mengeras.

Keanehan yang dimilikinya adalah; terkadang tangannya seperti memiliki nyawa sendiri. Itu terjadi hari ini, Hyunjin memukul kepalanya berkali-kali menggunakan kepalan tangan. Padahal dia tidak berniat melakukannya.

"Hyunjin!"

Mama terduduk, menahan pergelangan Hyunjin yang lagi-lagi terlihat akan memukul kepalanya sendiri.

"A-ah," Hyunjin meringis, merasakan banyak rasa sakit di tubuhnya. Mama memeluk Hyunjin dengan erat, jantungnya berdegup kencang, Hyunjin bahkan bisa merasakannya.

"Capek, Ma," lirihnya.

"Hey, sejak kapan pahlawan bisa mengeluh?" Mama berusaha menyemangati. Padahal dirinya sendiri sedang rapuh. Tiap kali Hyunjin meringis sekali saja, rasanya ada yang menekan dadanya, membuatnya selalu saja ingin menangis. Apalagi ketika mendapati Hyunjin dalam keadaan seperti sekarang.

Mama segera membantu Hyunjin untuk bangkit menuntunnya kembali ke ranjang agar berbaring, beristirahat. Hyunjin duduk menggantung kaki, menyentuh dadanya yang terasa sedikit sesak.

"Mati aja Hyunjin mati!" teriak Hyunjin sekencang-kencangnya. Lagi-lagi berusaha menyakiti dirinya sendiri dengan cara memukul kepala.

"Udah, Hyunjin, udah." Mama memeluk Hyunjin dari samping, berusaha menenangkannya.

"Hyunjin mati!" teriaknya berulang kali. Merasa tidak tahan dengan efek obat-obatan yang keras itu. Apalagi dia harus menjalaninya enam sampai tujuh kali lagi.

"Hey, kamu pernah menang kan berjuang melawan kanker? Ayo, sekali lagi. Ayo Hyunjin. Kamu pasti menang lagi." Mama semakin erat memeluk Hyunjin. Ia kini menangis. Menyusul Hyunjin yang pipinya sudah basah karena air mata.

Hyunjin marah besar pada rencana Tuhan. Ia jahat dengan mengirim kanker kembali di waktu yang tidak tepat. Ia juga menjauhkan Woojin di saat Hyunjin tengah membutuhkan tempat bertopang.

"Sekali lagi, Hyunjin. Mama janji, sekali lagi." Mama terisak. Setelah mendengar ucapan Mama, Hyunjin mulai tenang. Dia masih sedikit tersedu. Tapi tidak sehisteris tadi.

Grow Up [ ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang