20. Suicide?

13K 1.9K 903
                                    

•••

Hyunjin sedang tertidur pulas. Tadi pagi dia sempat bangun untuk sarapan sedikit bubur dan memakan beberapa potong buah. Lalu kembali tidur karena tubuhnya terasa sangat lemas. Dia masih perlu banyak istirahat untuk memulihkan daya tahan tubuhnya.

Tapi tiba-tiba saja ia terbangun. Karna mendengar suara dering yang kencang dan cukup mengganggu.

Hyunjin memposisikan dirinya untuk duduk. Menengok kanan-kiri. Ruangannya kosong. Sepertinya Mama sedang pergi keluar. Ketika itu, dia melihat ponsel yang berada di atas nakas samping ranjangnya sedang menyala.

Bukan ponsel miliknya, itu punya Mama.

Hyunjin melirik, melihat ada dua puluh panggilan tidak terjawab. Lalu kemudian, ada lagi yang meneleponnya. Ia lekas meraih ponsel tersebut dengan tangan kanan.

Jaejin.

Ei, sejak kapan Mama menamai kontak Papa dengan se-tidak romantis ini? Padahal dulu namanya Yeobo, dan tidak pernah diganti sama sekali.

Hyunjin mengangkat teleponnya. Mendekatkan ponsel itu ke telinga kanannya.

Terdengar desiran nafas yang kasar disana. Dia seperti penuh dengan amarah. Sebelum Hyunjin mengatakan 'Halo' , Jae lebih dulu berbicara dengan lantang.

"Seohyun! Kenapa kamu nggak angkat telepon dari saya? Sudah dua minggu dan kamu belum juga mengirim dokumen perceraian kita. Tapi tunggu, cepat datang ke rumah sakit di pusat Seoul. Saya disini bersama Chayoon. Cepat datang!"

Lalu teleponnya dimatikan oleh Papa.

***

Jae berlarian menyusuri lorong menuju resepsionis. Dia harus mengurus semua data-data dan tagihan. Serta mengurus hal-hal yang berkaitan dengan operasi pengangkatan janin karena Chayoon keguguran. Dia berlari cepat dengan keringat mengalir di dahinya.

Nampak dari kejauhan, seorang wanita berjalan dari arah berlawanan. Diantara beberapa orang lainnya, dia terlihat menonjol. Semakin dekat, Jae kian menyadarinya. Itu adalah Seohyun. Mereka bertemu di depan ruang resepsionis. Seohyun cukup terkejut, melihat keberadaan Jae yang terakhir kali di temuinya ketika di pengadilan.

"Seohyun! Syukurlah kamu sudah datang."

"Hah? Apa?" Seohyun mengerutkan keningnya.

"Ya. Saya suruh kamu datang dan dalam beberapa menit kamu sudah ada disini." Jae sedikit terengah-engah. Dia menahan tangannya ke tembok sambil sedikit membungkuk.

"Saya nggak paham." Seohyun mencoba untuk acuh, hendak meninggalkan Jae karena dirinya harus segera menebus beberapa obat dan kembali ke ruangan Hyunjin.

"Saya baru telepon kamu tadi. Kamu angkat. Saya menagih dokumen perceraian kita."

"Saya nggak bawa—"

Ya Tuhan! Itu artinya Hyunjin yang mengangkat?

Seohyun membalikkan tubuhnya dengan segera. Melangkah kembali dengan cukup cepat ke arah lift. Jae langsung mengejar dan menahan tangannya. "Ada apa?" Tanya Jae.

"Bukan saya yang angkat. Hyunjin. Itu pasti Hyunjin."

Seohyun melepas paksa lengan Jae.

"Jadi kamu disini karena Hyunjin? Dia kenapa? Saya kira kamu kesini untuk membantu saya." Jae terus membuntuti Seohyun sampai mereka berdua memasuki lift. Lift kosong. Tapi Seohyun tak ingin mengobrol sedikitpun dengan Jae. Dia cukup khawatir pada Hyunjin setelah dia mendengar telepon dari Jae, karena Jae pasti berbicara dengan kasar. Meski tidak bermaksud pada Hyunjin, itu akan tetap menyakitinya.

Grow Up [ ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang